Kezaliman Negara Dalam Kasus Impor Garam
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti mengaku kecewa terhadap hasil rapat koordinasi dengan para pemangku
kepentingan garam, karena industry tidak mendukung program swasembada garam
nasional.
“Saya kecewa di dalam rapat itu
karena tidak ada goodwill untuk swasembada. Saya mau beli
teknologi apa pun untuk menaikkan kualitas garam rakyat supaya bisa memenuhi
standar industri. Ada anggaran sekitar Rp 600 miliar, yang Rp 350 miliar untuk
PT Garam dan Rp 250 miliar anggaran Kementerian KP,” kata Susi pada pertemuan
dengan pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Kamis malam (12/3).
Rapat koordinasi tentang garam
berlangsung di Jakarta pada Jumat (6/3) lalu, yang dihadiri unsure industri
pengguna garam, asosiasi petani garam rakyat, PT Garam, pedagang atau
perusahaan pengimpor garam, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian,
dan Kementerian Perdagangan. Susi mengaku kecewa dengan rapat koordinasi
tersebut karena tidak meraih kesepakatan untuk mendukung program swasembada
garam.
Susi mengatakan, rapat koordinasi
tersebut berbanding terbalik dengan dialog yang dilakukannya dengan para
pemangku kepentingan di sektor perikanan. “Rapat dengan para nelayan tuna lebih
mudah dan konstruktif. Tidak seperti rapat garam ini. Karena itu, saya bilang,
bagaimana caranya saya akan atur supaya yang bisa impor hanya asosiasi petani
garam rakyat dan PT Garam. Mungkin itu satu-satunya cara,” kata Susi.
Menteri Susi merasa sedih karena
sebagai negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia tapi masih
impor garam dalam jumlah besar. Itu adalah hal yang tidak masuk akal. Kalau ada
kemauan politik, anggaran Rp 600 miliar bisa dibelikan teknologi pengembangan
garam. “Tapi, delapan perusahaan (pengimpor) garam ini tidak mau. Mereka sudah
berada di zona nyaman dengan mengimpor selama ini, jadi tidak mau berubah. Ini
tidak adil dan harus dihentikan. Susah sekali,” kata Susi.
Susi menambahkan, meski perusahaan-
perusahaan tersebut sudah menyerap garam lokal, jumlahnya tetap tidak memadai.
“Memang ada ketentuan, boleh impor kalau sudah menyerap garam lokal. Mereka
mengatakan, misalnya impor 80 ton maka serapannya juga 80 ton. Saya bilang
boleh impor asalkan yang impor petani supaya mereka juga bisa untung dari
impor,” kata Susi.
Menteri Susi Pudjiastuti sebelumnya
menargetkan sekitar 50% dari total kebutuhan garam industri tahun ini sebesar 2
juta ton bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Target itu sejalan dengan
upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada garam industri pada 2016.
Susi mewajibkan industri menyerap
garam rakyat sebanyak satu juta ton. Jika industri menolak, pihaknya akan
mengalihkan importasi garam untuk kebutuhan industri kepada konsorsium koperasi
petani garam dan PT Garam.
Tony Tanduk dari Asosiasi Industri
Pengguna Garam Indonesia bersedia membeli garam lokal, asal memenuhi standar.
Pada 2014, industri pangan olahan mengimpor 450 ribu ton garam senilai US$ 20
juta.
Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah telah memutuskan
mengimpor garam. Hal itu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan dan tingginya
harga garam di pasaran.
"Kami sudah keluarkan persetujuan impornya. Untuk
industri sudah, untuk konsumsi juga sudah melalui PT Garam," kata Enggar
di kompleks Sekretariat Negara Jakarta, Selasa (1/8).
Dia menambahkan, harga garam akan turun ketika suplai tercukupi. Selain melakukan impor, pemerintah menjamin produksi garam lokal di sejumlah daerah terus berjalan.
"PT Garam mengimpor sementara ini dari Australia. Kalau kurang nanti dari India. Yang pasti 75 ribu ton sudah (diputuskan)," jelas Enggartiasto. Enggar meyakini garam impor ditambah produksi lokal bisa mencukupi kebutuhan di pasaran untuk sementara.
Terpisah, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Jazuli Juwaini mengatakan, seharusnya pemerintah tidak serta merta mengambil kebijakan impor garam.
Seharusnya kata Jazuli, pemerintah harus melakukan inventarisir masalah secara cermat mengapa bisa terjadi kelangkaan garam. "Jangan sampai ada permainan pihak-pihak tertentu yang menciptakan kondisi kelangkaan untuk mengeruk keuntungan dan merugikan petani garam," kata Jazuli.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan mengimpor 75 ribu ton akibat kelangkaan saat ini yang menyebabkan melonjaknya harga garam di pasaran. Jazuli mengingatkan, petani garam harus diproteksi agar tidak menderita kerugian akibat kebijakan importasi yang mudah saja dikeluarkan pemerintah dengan dalih kelangkaan stok.
"Apalagi dalam waktu dekat akan memasuki masa panen garam. Kalau garam impor masuk, bisa jatuh harga garam petani," ujarnya. Menurut dia, akar masalahnya harus dicari terlebih dahulu sebelum memutuskan impor. Pemerintah memang harus menstabilkan harga.
Kalaupun kebijakan importasi diambil, lanjut Jazuli, harus dipastikan clear dulu sumber masalahnya, termasuk data kebutuhannya yang tidak tertutupi dari petani garam. "Saya dengar analisis di lapangan terkait berapa sebetulnya kebutuhan garam nasional belum clear betul," ujarnya.
Artinya, lanjut Jazuli, belum didapat total stok garam nasional saat ini sehingga pemerintah bisa mendapatkan angka pasti supply and demand dari garam konsumsi.
Sebagai negara dengan garis pantai dan lautan yang luas semestinya Indonesia bisa lebih optimal mengembangkan industri atau produksi garam nasional. "Maka, jangan buru-buru buka keran impor," tegas Jazuli.
Dia menambahkan, harga garam akan turun ketika suplai tercukupi. Selain melakukan impor, pemerintah menjamin produksi garam lokal di sejumlah daerah terus berjalan.
"PT Garam mengimpor sementara ini dari Australia. Kalau kurang nanti dari India. Yang pasti 75 ribu ton sudah (diputuskan)," jelas Enggartiasto. Enggar meyakini garam impor ditambah produksi lokal bisa mencukupi kebutuhan di pasaran untuk sementara.
Terpisah, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Jazuli Juwaini mengatakan, seharusnya pemerintah tidak serta merta mengambil kebijakan impor garam.
Seharusnya kata Jazuli, pemerintah harus melakukan inventarisir masalah secara cermat mengapa bisa terjadi kelangkaan garam. "Jangan sampai ada permainan pihak-pihak tertentu yang menciptakan kondisi kelangkaan untuk mengeruk keuntungan dan merugikan petani garam," kata Jazuli.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan mengimpor 75 ribu ton akibat kelangkaan saat ini yang menyebabkan melonjaknya harga garam di pasaran. Jazuli mengingatkan, petani garam harus diproteksi agar tidak menderita kerugian akibat kebijakan importasi yang mudah saja dikeluarkan pemerintah dengan dalih kelangkaan stok.
"Apalagi dalam waktu dekat akan memasuki masa panen garam. Kalau garam impor masuk, bisa jatuh harga garam petani," ujarnya. Menurut dia, akar masalahnya harus dicari terlebih dahulu sebelum memutuskan impor. Pemerintah memang harus menstabilkan harga.
Kalaupun kebijakan importasi diambil, lanjut Jazuli, harus dipastikan clear dulu sumber masalahnya, termasuk data kebutuhannya yang tidak tertutupi dari petani garam. "Saya dengar analisis di lapangan terkait berapa sebetulnya kebutuhan garam nasional belum clear betul," ujarnya.
Artinya, lanjut Jazuli, belum didapat total stok garam nasional saat ini sehingga pemerintah bisa mendapatkan angka pasti supply and demand dari garam konsumsi.
Sebagai negara dengan garis pantai dan lautan yang luas semestinya Indonesia bisa lebih optimal mengembangkan industri atau produksi garam nasional. "Maka, jangan buru-buru buka keran impor," tegas Jazuli.
Kabar Pemerintah akan membuat
kebijakan dengan mengimpor garam membuat sejumlah petani di Kabupaten Sumenep,
Jawa Timur resah. Kebijakan ini dicurigai membuat harga garam saat ini turun
drastis hingga mencapai sekitar 22 persen atau sekitar Rp 800 ribu per ton.
Seperti yang diwartakan jpnn.com
pada Sabtu (12/8/2017), sejumlah petani garam di Desa Katasada mengakui sejak
kebijakan impor dijalankan, harga garam turun drastis. Harga garam yang sempat
mencapai Rp 3,8 juta per ton, saat ini turun menjadi Rp 3 juta per ton.
Karena itu, sejumlah petani meminta
kepada pemerintah untuk memikirkan nasib petani garam. Jika tidak ada kebijakan
impor, harga garam bisa terus naik dan sangat menggembirakan untuk para petani
garam.
Berbeda dengan petani yang merasa
dirugikan dengan kebijakan impor garam. Kabid Industri Disperindag Agus Eka
Haryadi menuturkan bahwa kebijakan impor meruapakan salah satu cara yang tepat
untuk menstabilkan harga dan juga kebijakan tersebut merupakan keputusan
pemerintah pusat.
“Sebab impor garam merupakan kebijakan
pemerintah pusat,” ujar Agus.
Sementara itu, Para petani garam di
Desa Astanamukti terpaksa menahan menjual garam mereka. Anjloknya harga garam
disinyalir karena berlimpahnya garam impor dari Australia yang disimpan di
gudang wilayah Desa Astanamukti.
Diukutip dari radarcirebon.com pada
(12/8/2017), salah seorang petani garam mengaku garam yang dihargai hanya Rp200
per kilo sangat merugikan petani, karena tidak cukup untuk memenuhi biaya
produksi garam. Agar biaya produksi tertutupi, harga garam dari petani minimal
Rp400 per kilo. Agar tidak terlalu merugi banyak, dirinya dan petani lain
terpaksa menahan puluhan ton garamnya untuk dijual.
“Makanya karena harganya benar-benar
anjlok, saya tahan dulu garam-garam saya untuk tidak dijual. Saya masih ada 50
ton yang belum dijual, karena kalau saya jual pasti saya rugi,” ujar Tarjan,
salah satu petani garam di Desa Astanamukti.
Merugikan petani garam, saat musim panen garam
negara malah impor garam masuk ke pasar lokal. Harga garam petani turun drastis.
75.000 ton garam rumah tangga dari Australia telah masuk ke Indonesia
Mencermati Tata kelola garam nampak bahwa pemerintah
tidak serius membuat program agar bisa swasembada garam. Alasan kelangkaan
garam akibat anomali cuaca tidak bisa diterima karena kejadian alam ini terjadi
berulang setiap tahun tanpa ada antisipasi memadai selain hanya memnguatkan
kebijakan perlunya impor. Impor pun dilakukan tanpa menimbang kerugian.
Sikap pemerintah menghadapi Problem kelangkaan garam
sebagai salah satu dari sembilan kebutuhan pokok adalah cerminan pemerintah yang tidak hadir
secara nyata dalam mengurusi rakyat. Padahal semestinya pemerintah berposisi
sebagai pengurus rakyat yang utuh menyeluruh.
Kapitalisme; Biang Krisis Pangan
Masalah
garam adalah persoalan yang sama atas sejumlah komoditas pangan. Bukan rahasia
lagi, bahwa kebutuhan pangan kita banyak mengandalkan impor. Gula, kedelai,
daging, bawang putih dan bawang merah, bahkan beras banyak diimpor. Alasannya,
produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan nasional. Kisruh garam di negeri ini
sekali lagi menunjukkan potret betapa buruknya para pejabat publik mengelola
negara.
Kebijakan instan berupa impor seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat Indonesia saat ini memiliki tambak garam seluas 25.766 hektar yang tersebar di lebih dari 10 provinsi, 40 kabupaten/kota. Luas tambak garam itu seharusnya dijadikan modal penting oleh pemerintah untuk dapat keluar dari ketergantungan impor serta mewujudkan cita-cita swasembada.
Dengan adanya kebijakan import garam tersebut, anggota Komisi VI DPR-RI Ario Bimo menyatakan bahwa pemerintah harus tegas dengan regulasinya terkait impor garam tersebut. Jangan sampai impor garam baik yang untuk produksi maupun garam konsumsi (untuk rumah tangga) dijadikan lahan basah untuk melakukan penyelewengan.
"Regulasinya harus jelas, siapa yang mengawasi distribusinya. Berapa jumlah garam yang harus diimpor, siapa yang berhak melakukan import, dan berapa jangka waktu pemerintah lakukan impor garam," papar Ario Bimo, di Solo, Jawa Tengah, Minggu (30/7/2017).
Kebijakan instan berupa impor seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat Indonesia saat ini memiliki tambak garam seluas 25.766 hektar yang tersebar di lebih dari 10 provinsi, 40 kabupaten/kota. Luas tambak garam itu seharusnya dijadikan modal penting oleh pemerintah untuk dapat keluar dari ketergantungan impor serta mewujudkan cita-cita swasembada.
Dengan adanya kebijakan import garam tersebut, anggota Komisi VI DPR-RI Ario Bimo menyatakan bahwa pemerintah harus tegas dengan regulasinya terkait impor garam tersebut. Jangan sampai impor garam baik yang untuk produksi maupun garam konsumsi (untuk rumah tangga) dijadikan lahan basah untuk melakukan penyelewengan.
"Regulasinya harus jelas, siapa yang mengawasi distribusinya. Berapa jumlah garam yang harus diimpor, siapa yang berhak melakukan import, dan berapa jangka waktu pemerintah lakukan impor garam," papar Ario Bimo, di Solo, Jawa Tengah, Minggu (30/7/2017).
Garam
sendiri merupakan produk yang sudah ada pengaturan dalam peredarannya.Garam
sendiri merupakan barang yang harus diatur kebutuhan dan pasokannya. Khususnya
garam untuk kosumsi, negara bisa berswasembada, namun khusus garam untuk
industri masih mengandalkan import dari negara lain.
"Karena itu perlu pengaturan agar saat surplus garam produksi tidak berimbas juga pada garam konsumsi begitu juga sebaliknya," lanjutnya.
Ario Bimo juga sampaikan keputusan perintah untuk melakukan import garam konsumsi juga harus memikirkan juga didukung juga bagaimana kebijakan yang akan diambil untuk melindungi petani garam di tanah air.
"Karena itu perlu pengaturan agar saat surplus garam produksi tidak berimbas juga pada garam konsumsi begitu juga sebaliknya," lanjutnya.
Ario Bimo juga sampaikan keputusan perintah untuk melakukan import garam konsumsi juga harus memikirkan juga didukung juga bagaimana kebijakan yang akan diambil untuk melindungi petani garam di tanah air.
Pesekongkolan
jahat itu bermula dari sistem kuota impor yang dipelihara selama belasan bahkan
puluhan tahun. Dan itu terjadi pada garam di Indonesia, kata Direktur program
Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi kepada
suaranasional, Rabu (2/8).
Di mata
rakyat awam, perkara garam sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin
negara dengan garis pantai kedua terpanjang dunia setelah Kanada, bisa
kekurangan garam? papar Edy. Ia mengatakan, dalam sejarah Indonesia merdeka
yang menjelang 72 tahun, baru kali ini kita mengalami kelangkaan garam.
Kalau pun bisa didapatkan, harganya meroket secara tidak wajar. Akibat langkanya pasokan, harga garam naik dua kali bahkan lima kali lipat daripada harga normal, kata Edy. Selain itu, Edy mengatakan, untuk mengatasi masalah garam perlu dicari pejabat yang mampu mengenali masalah serta mencari solusi yang tepat dan cepat. Setelah itu, dia punya leadership yang kuat untuk mengawal sekaligus memastikan kebijakan yang diambil bisa di-delivery.
Kalau pun bisa didapatkan, harganya meroket secara tidak wajar. Akibat langkanya pasokan, harga garam naik dua kali bahkan lima kali lipat daripada harga normal, kata Edy. Selain itu, Edy mengatakan, untuk mengatasi masalah garam perlu dicari pejabat yang mampu mengenali masalah serta mencari solusi yang tepat dan cepat. Setelah itu, dia punya leadership yang kuat untuk mengawal sekaligus memastikan kebijakan yang diambil bisa di-delivery.
Islam Mengatasi Krisis Pangan
Pangan
masih menjadi topik masalah yang tidak kunjung tuntas. Sepanjang tahun,
berbagai wilayah di Indonesia pun kerap mengalami hal yang sama. Disinyalir
banyak hal yang menjadi penyebab naiknya harga bahan pokok ini, seperti
menipisnya stok beras karena faktor hujan, kesalahan distribusi, hingga
konversi lahan yang diakibatkan oleh menyempitnya lahan pertanian karena habis
untuk pembangunan. Namun, suatu fakta yang tidak bisa ditutupi ialah bahwa
hingga hari ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara importir beras yang
cukup besar. Bahkan beberapa bahan pangan, seperti kedelai, bawang merah,
hingga garam pun masih impor.
Sungguh
ironis, apabila krisis pangan mengancam negeri agraris yang katanya tanahnya
subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan yang terjadi di bumi pertiwi
ini tidak lain karena distribusi yang rusak. Rusaknya distribusi ini adalah
buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan serta praktik
privatisasi dan liberalisasi. Akibatnya, negara dan rakyat Indonesia tidak
mempunya kedaulatan dalam mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor
pangan. Sebab, saat ini sektor pangan kita telah bergantung pada mekanisme
pasar yang dikuasai perusahaan raksasa. Untuk mengatasi hal ini, maka
pemerintah sebagai pemangku kebijakan mesti membuat perencanaan yang jelas,
terukur, dan terarah dalam mengatasi persoalan krisis pangan. Termasuk di
dalamnya adalah melepaskan diri cengkeraman kapitalis demi menjaga kedaulatan
dan ketahanan pangan. Sebab, ketahanan pangan tidak hanya ada dalam dimensi
ekonomi semata, tetapi juga merupakan bagian dari ketahanan sosial politik
bangsa.
Selama
pijakannya masih berlandaskan Liberalisme yang menginduk pada ideologi
Kapitalisme-Sekuler, adalah suatu hal yang mustahil untuk menjaga kedaulatan
dan ketahanan pangan, yang ada justru memperluas kerawanan pangan. Islam
memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan, yakni memandang
bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi
per individu. Dalam ranah negara, pemerintah lah yang wajib memastikan
terpenuhinya kebutuhan pokok, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan warga
negaranya termasuk urusan pangan dalam hal produksi dan distribusinya.
Sudah saatnya kita beralih pada Islam yang menawarkan konsep yang komprehensif dalam mengatasi urusan pangan. Bahkan lebih dari itu, Islam memiliki segudang solusi untuk mengatasi dan memecahkan seluruh problematika kehidupan.Wallahu alam.[]
Sudah saatnya kita beralih pada Islam yang menawarkan konsep yang komprehensif dalam mengatasi urusan pangan. Bahkan lebih dari itu, Islam memiliki segudang solusi untuk mengatasi dan memecahkan seluruh problematika kehidupan.Wallahu alam.[]
Sumber
http://www.suratkabar.id/48012/news/pemerintah-impor-perani-garam-gelisah-karena-harga-jual-anjlok
http://www.rmolbabel.com/read/2017/08/01/1914/1/Pemerintah-Putuskan-Impor-75-Ribu-Ton-Garam
http://www.remajaislamhebat.com/2017/08/impor-bukan-solusi-krisis-garam.html
Komentar
Posting Komentar