Reblog: Artikel ini buat saya banget

Fenomena Baby Daycare; Bukti Lemahnya Negara dalam Memuliakan Fungsi Ibu*

Pendahuluan
Beberapa waktu lalu, topik mengenai Tempat Penitipan Anak (TPA) atau yang lebih dikenal dengan baby daycare menjadi topik yang ramai diperbincangkan di kalangan perempuan, bahkan menjadi topik utama di beberapa media. Setelah sebelumnya pada 20 Agustus lalu kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Faisal Jalal meresmikan Taman Anak Sejahtera Kencana. Yaitu sebuah Tempat Penitipan Anak (selanjutnya kita sebut daycare-pen.) yang didirikan di kantor BKKBN pusat yang merupakan tempat pengasuhan anak khususnya bagi para pegawai perempuan yang bekerja di BKKBN agar anak-anaknya tetap mendapat pola asuh yang baik meski ibunya bekerja (republika.co.id., 21/08/2014).
Seiring dengan banyaknya kaum ibu saat ini yang memilih bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarga yang mungkin tidak bisa dipenuhi jika hanya suami yang bekerja, atau sekedar aktualisasi diri demi kemandirian seorang perempuan, atau ibu yang bekerja dengan alasan demi kepentingan anak-anaknya agar kebutuhannya terpenuhi (terutama bagi para single parent), keberadaan daycare ini menjadi daya tarik tersendiri agar karier mereka berjalan mulus tanpa ‘gangguan’ anak-anaknya. Di satu sisi ibu dapat bekerja dengan baik, di sisi lain kewajiban mereka sebagai ibu telah terpenuhi dan dapat meninggalkan anaknya dengan tenang. Terlebih dengan pola pembagian waktu kerja normal bagi para pekerja di Indonesia yang rata-rata 7 jam perhari dan 40 jam perminggu untuk pola waktu kerja 6:1, serta 8 jam perhari dan 40 jam perminggu untuk pola 5:2 (hukumonline.com). Tentu saja ini menyita banyak waktu, karena mengharuskan para ibu bekerja berada di luar rumah dalam waktu yang cukup lama. Atau bahkan boleh jadi ada yang beranggapan bahwa perempuan yang memilih bekerja mati-matian di luar rumah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah perempuan yang gigih memperjuangkan nasib ekonomi keluarganya. Namun, bila komitmen yang harus dijalani perempuan bekerja sampai menyita dan menggadaikan waktu, tenaga dan pikiran yang seharusnya dicurahkan bagi anak-anaknya tentu ini sudah melampaui batas. Secara perlahan tapi pasti dampak yang akan ditanggung oleh perempuan pada akhirnya akan semakin berat. Tidak hanya lelah atau stres, tetapi eksistensi kodrat kewanitaan yang telah ditetapkan Allah SWT sebagai perempuan diabaikan, seperti fungsi keibuan yang salah satunya mengedukasi anak-anaknya agar menjadi generasi cemerlang, atau tidak mau punya banyak anak dan mengasuh dengan tangannya sendiri. Tentu ini akan berakibat pada destruksi keluarga dan masyarakat.
Menjamurnya keberadaan daycare saat ini tidak hanya sebagai tempat penitipan anak bagi para ibu yang bekerja, tetapi juga menawarkan berbagai keunggulan dalam mendidik anak.  Dari yang mengajarkan bahasa internasional, membentuk jiwa wirausaha pada anak, sampai yang memadukannya dengan pendidikan formal seperti TK dan SD.  Selain itu, daycare juga biasanya memberikan program pendidikan yang lebih komprehensif serta menyediakan mainan yang edukatif bagi anak. Hasil studi dari University of North Carolina menunjukkan bahwa anak-anak yang dititipkan pada daycare yang berkualitas memiliki kemampuan kognitif dan bahasa yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan seperti yang diberikan oleh daycare tersebut. Daycare juga dianggap dapat memberikan kesempatan yang lebih luas untuk bersosialisasi dengan anak-anak lain seusianya dibandingkan di rumah, sehingga lebih terekspos pada berbagai pengalaman dan pemikiran. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Miami menemukan bahwa anak-anak yang dititipkan di daycare berkualitas tidak hanya memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik, tetapi juga memiliki kepercayaan diri yang kuat dan kemampuan memimpin (leadership). Umumnya pengasuh di daycare diberi pelatihan khusus mengenai pendidikan anak usia dini sehingga dapat mengasuh anak lebih baik dibanding baby sitter. Bila pengasuh anak sakit, akan ada pengasuh lain di daycare tersebut yang menggantikan (homydaycare.wordpress.com, 3/4/2013).
Para pengusaha daycare juga jitu dalam membidik pasar dengan menempatkannya di pusat-pusat perkantoran, atau tempat bekerja kaum ibu lainnya. Keberadaan daycare ini bagi sebagian ibu dianggap sebagai ‘solusi pengganti’ dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Dengan asumsi jika dengan pengasuh, anak cenderung tergantung, biasa dilayani dan kurang berkembang intelektualnya karena rendahnya stimulasi yang didapat. Namun di daycare tumbuh kembang anak bisa lebih diperhatikan sesuai dengan metode pembelajaran yang diberikan, bagi keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke atas daycare ini menjadi pilihan dengan harapan dapat memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak.
Namun, fenomena maraknya daycare ini juga membawa beberapa fakta kurang baik. Di sebuah daycare kantor Pertamina Jakarta, seorang bayi berusia 14 bulan menjadi korban penganiayaan pengasuhnya. Sang ibu menemukan lebam-lebam pada tubuh anaknya, sehingga mendorongnya untuk melapor pada pihak yang berwenang, video yang sempat terekam CCTV tersebut menunjukkan betapa para pengasuh di daycare acapkali memperlakukan anak-anak yang dititipkan secara tidak manusiawi. Seperti menoyor dan mencubit pipi hingga memar, menjungkirbalikkan kereta dorong, memberikan makanan secara kasar, dan sebagainya. Tidak jarang jika si anak menangis, rewel, atau mulai muncul kenakalannya si pengasuh memberinya obat tidur, atau ditelantarkan. Kasus serupa juga terjadi di Malaysia. Meskipun para pengasuh di daycare umumnya memiliki keunggulan seperti ditunjukkan dengan adanya sertifikat, namun hal itu tidak bisa dijadikan jaminan anak bebas dari penganiayaan (palingaktual.com, 16/9). Bahkan tidak sedikit daycare yang mensyaratkan para pengasuhnya sarjana. Tentu menjadi pertanyaan besar, benarkah keberadaan daycare ini menjadi “penyelamat” bagi para ibu?
Latarbelakang Menjamurnya Baby Daycare
Sebenarnya keberadaan baby daycare sudah lama berkembang di negara-negara Skandinavia. Negara-negara Skandinavia adalah negara-negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Namun di satu sisi, kemerosotan angka kelahiran bayi disana sangat tajam, bahkan laju pertumbuhannya minus. Dalam sehari lebih banyak orang yang meninggal daripada bayi yang lahir. Ide KKG (keadilan dan kesetaraan gender) disana terhitung berhasil, para perempuannya teropinikan bahwa kehidupan domestik bagi kaum hawa adalah kuno bahkan buruk, perempuan modern dengan intelektualitas tinggi dianggap perempuan yang mampu melebur bersama kaum laki-laki di ranah publik. Ide inilah yang menjadi cikal bakal hancurnya keluarga, terutama keluarga muslim.
Ide KKG sendiri muncul di awal revolusi industri, perubahan pemikiran yang terjadi di masyarakat menjadikan seluruh lapisan masyarakatnya memikirkan ulang apa yang menjadi kodratnya. Begitupun kaum perempuan, kehidupan yang kapitalistik dan materialistik telah menjadikan perempuan barat merambah ke sektor publik. Seiring dengan terbukanya kesempatan kerja dan pendidikan, akhirnya mereka mampu melihat kehidupan lama mereka (sektor domestik) dengan sudut pandang yang berbeda. Inilah yang menjadi landasan pemikiran pergerakan para pegiat kesetaraan gender. Mereka memperjuangkan hak nya untuk bebas, bebas dari ikatan/nilai apapun, termasuk nilai agama. Akhir tahun 1960, pergerakan perempuan mulai masuk ke ranah yang strategis. Diselenggarakanlah konferensi-konferensi internasional dalam mewujudkan program-program KKG. Konferensi yang paling spektakuler dan dinilai berhasil memasukan ide kesetaraan gender khususnya ke negeri-negeri muslim adalah konferensi  PBB keempat tahun 1995 di Beijing. Konferensi yang  dihadiri oleh 189 negara anggota PBB ini menghasilkan Beijing Platform for Action (BPFA). Pada konferensi tersebut dikenalkan wawasan GAD (Gender and Development) yang intinya menekankan pada keterlibatan perempuan dalam penentuan kebijakan. Ada 12 bidang kritis yang menjadi perhatian penting dalam BPFA: 1) Perempuan dan Kemiskinan; 2) Pendidikan dan Pelatihan Bagi Perempuan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap Perempuan 5) Perempuan dan konflik Bersenjata; 6) Perempuan dan Ekonomi; 7) Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; 8) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; 9) Hak Asasi Perempuan; 10) Perempuan dan Media; 11) Perempuan dan Lingkungan; 12) Anak dan Perempuan. Untuk  menguatkan komitmen aksi tindak BPFA, digulirkanlah MDG’s pada tahun 2000. (muslimdaily.net)
Karena basis ide KKG adalah ideologi kapitalistik materialistik, pemberdayaan perempuan lebih ditekankan pada kemandirian perempuan di bidang ekonomi. Perempuan didorong untuk mandiri secara finansial agar tidak bergantung kepada laki-laki.  Jika perempuan sudah berperan dalam finansial keluarga, maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada perempuan. Perempuan pun menuntut ada pembagian tugas domestik (rumah tangga) dengan laki-laki, sebagaimana jasa perempuan dalam peran finansialnya. Termasuk didalamnya pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga. Namun akhirnya, seiring dengan perubahan pemikiran, bahwa diluar rumah lebih terhormat daripada di dalam rumah. Tidak ada satu pun yang mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena ibu  dan ayah sama-sama bersaing disektor publik.
Lantas bagaimana nasib anak-anak mereka? Jika para ayah dan ibu banyak tersita waktu di luar, maka solusi yang dilakukan adalah menyerahkan pengasuhan anak-anak kepada baby sitter, pengasuh, menggaji pembantu, atau menitipkan anak-anaknya di daycare. Keadaan ini juga dimanfaatkan oleh para kapitalis yang memandang urusan pengasuhan anak ini sebagai lahan bisnis yang sayang untuk dilewatkan, oleh karena itu baby daycare adalah salah satu bentuk pengejawantahan dari program BPFA yang membawa ide Keadilan dan Kesetaraan Gender. Pada titik ini, kehancuran keluarga muslim akan tampak jelas. Peran keluarga menjadi kacau, peran kepala rumah tangga yang diwajibkan kepada laki-laki akan melemah, karena perempuan pun menuntut kepemimpinannya, apalagi jika gaji istri dan jabatan istri lebih tinggi dari suaminya. Peran utama ibu terabaikan, yaitu pengelolaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas yanga akan membangun peradaban. Pembagian peran yang tidak jelas akan memicu perceraian, akhirnya mereka lebih memilih menjadi single parents. Keluarga yang berantakan akan memicu psikologis anak, karena tidak mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. Terbukti kebanyakan anak-anak menjadi korban narkoba, korban freesex, anak-anak yang terlibat kriminal  dan lainnya berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Pendidikan dini yaitu benteng akidah yang seharusnya mereka dapatkan sejak kecil, tidak menyentuh mereka sama sekali.
Pentingnya Mengubah Paradigma terhadap Anak
Akankah keberadaan Tempat Penitipan Anak (daycare) dapat menggantikan fungsi ibu? Perlu dicermati bahwa seberapapun keunggulan dan metode pembelajaran yang diberikan daycare, sarana itu tetap saja dirancang untuk menangani banyak anak sehingga tidak akan mungkin dapat memberikan stimulasi optimal bagi anak. Selain itu kasih sayang yang optimal tentu hanya bisa diberikan seorang ibu kepada anaknya. Kasih sayang yang dicurahkan kepada anak tentu akan menjadi sebuah energi besar bagi mereka untuk menghadapi dunia luar, sebagai nutrisi kecerdasan agar otak berkembang maksimal dan perkembangan kecerdasan emosional mereka. Anak juga membutuhkan support untuk menanamkan kepercayaan diri, menghargai dirinya sendiri, menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap orang lain, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang.  Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah.  Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya. Penanaman karakter dan kesadaran seperti ini tentu harus dilakukan oleh orang yang paling mengetahui tabiat dan karakter si anak, bagaimana mungkin seorang pengasuh di daycare akan mampu membentuk potensi anak sesuai harapan setiap orangtua. Pembentukan syakhsiyah Islam pada diri seorang anak juga hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sangat memahami karakter dan potensi mereka, pemahaman yang utuh terhadap anak, yang paling berambisi untuk mencetak anak yang sholeh, paling gigih menghindarkan dari semua pengaruh buruk, orang yang paling kecewa saat anaknya gagal membentuk kepribadian Islam dalam dirinya juga tentu orangtua terutama ibu. Jika fungsi ibu terabaikan karena harus keluar rumah, akankah fungsi ini mampu tergantikan? Kondisi ini juga diperparah dengan iklim demokrasi dimana para anak tumbuh dan berkembang dalam kungkungan ‘gurita’ kapitalisme yang siap ‘menerkam’ mereka kapan saja. Tidak sedikit tontonan, bacaan, musik, dan media lainnya yang sarat dengan unsur pornografi, kekerasan, dan perkataan-perkataan yang tidak layak ditiru. Ketika kebijakan negara selalu berlandaskan hukum manfaat dan mengejar keuntungan materi, maka moral dan akhlak generasi pun selamanya akan tergadaikan.
Anak merupakan aset berharga dan tumpuan harapan para orangtua, paradigma semacam ini menempatkan anak dalam skala prioritas kebutuhan mereka.  Anak diarahkan untuk bisa berprestasi dan membawa harum nama orangtua.  Anak dituntut juga harus bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua kelak.  Konsekuensinya, anak harus mendapat pendidikan dari kecil untuk menghadapi persaingan pasar tenaga kerja yang kian sulit. Dengan idealisme seperti itu, tidak sedikit orangtua yang memasukkan anaknya sejak dini ke daycare, dengan asumsi semakin dini masuk daycare maka pendidikan yang lebih baik pun akan didapatkan. Ketika menginjak usia SD mereka dimasukkan ke fullday school, kemudian SMP dan SMA boarding school. Itu semua tentu tidak memakan biaya yang sedikit, maka para ibu terpaksa bekerja ekstra keras demi menutupi pembiayaannya. Seorang perempuan yang berstatus ibu saat menambah aktivitasnya di luar lingkungan keluarga, tentu saja akan mengurangi porsi waktu dia untuk melaksanakan perannya dalam keluarga. Paling tidak akan mempengaruhi kualitas kesiapannya untuk menunaikan perannya tersebut, bahkan tidak mustahil ada yang abai karena waktunya banyak tersita di luar keluarga. Perhatian dan tenaganya bisa terkuras, sehingga ketika sampai di rumah tinggal sisa tenaga yang bisa dicurahkan.
Paradigma seperti inilah yang harus diubah, dengan menanamkan kesadaran bahwa anak merupakan amanah dari Allah SWT yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga yang dilakukan bukan justru berlomba-lomba memasukkan anak ke lembaga yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah, namun justru para orangtua lah yang seharusnya berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya, mampu mengidentifikasi hal-hal yang dapat mengantarkan diri dan anaknya menuju keridhoan Allah, juga hal-hal yang dapat menghalanginya, merumuskan target-target yang harus dicapai, dan mengajarkan pahit-manisnya hidup dan perjuangan. Bukan justru mengikuti kehendak dan keinginan anak, atau justru mengikuti arus zaman yang berkembang dan dapat membentuk syakhsiyah yang tidak islami. Mereka juga akan berusaha menanamkan nilai-nilai kebahagiaan hakiki untuk dunia dan akhirat. Pendidikan Islam menyandarkan kecintaan kedua orangtua pada satu sumber kecintaan yang sungguh, terus-menerus dan tidak kunjung berhenti, yaitu kecintaan kepada Allah. Allah telah memberikan nikmat kepada kita dan mengasihi di kala mengalami kesulitan, ujian dan cobaan. Dengan menanamkan paradigma ini para ibu akan berusaha untuk terus melayakkan diri menjadi pendidik terbaik bagi anak-anaknya, menggali ilmu-ilmu yang diperlukan, mengcounter pemikiran-pemikiran buruk yang datang dari luar agar tidak merasuk ke dalam diri anak agar kelak dapat membina mereka menjadi generasi terbaik. Itu semua tidak akan terwujud jika perasaan bahwa Allah akan memintai pertanggungjawaban atas yang demikian tidak tertanam.
Dengan demikian, paradigma sesat bahwa ibu hebat adalah ibu yang banyak menghasilkan uang untuk kesejahteraan keluarganya harus diluruskan. Ibu hebat di mata Allah adalah ibu yang dapat mendidik putra-putrinya menjadi generasi pejuang Islam yang tangguh. Karenanya, Islam memberikan ruang yang istimewa agar para ibu dapat mengemban kewajiban sebagai Ummun wa rabbatul bait.
Berbagai fakta di atas telah menunjukkan betapa fungsi keibuan saat ini telah banyak diabaikan, mereka terpaksa menyibukkan diri bekerja di luar rumah dan menyandang beban dan peran ganda, yakni sebagai Ummun wa rabbatul bait sekaligus mencari nafkah bagi keluarga. Mereka menjadi korban sistem Kapitalis dunia yang menempatkan perempuan tidak sesuai dengan kodratnya. Untuk itu, para perempuan harus memahami bahwa hukum asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, termasuk aktivitas wanita di rumah. Tentu saja kita tidak bisa memukul rata semua aktivitas dalam satu hukum, tetapi harus dilihat masing-masing aktivitasnya. Misalnya, hukum wanita mencari ilmu adalah wajib. Hukum muslimah mengamalkan atau menyebarkan ilmu/berdakwah kepada Islam adalah wajib (TQS. Ali-Imran:104), sementara hukum muslimah bekerja mencari nafkah adalah mubah. Hukum menjadi ibu (pembentuk generasi, mengatur rumah tangga, dll) adalah wajib. Jadi ketika seorang muslimah akan memutuskan untuk beraktivitas di luar lingkungan keluarganya, maka harus memperhatikan ketentuan hukum-hukum tersebut.
Maka dari itu, penulis menyarankan agar setiap muslimah harus mempertimbangkan beberapa hal pada saat memilih berkiprah di luar lingkungan keluarganya. Antara lain: 1) Mengetahui peran dan tanggungjawab utamanya dalam keluarga. Peran sebagai anak, pengatur rumah tangga, sebagai istri dan ibu pembentuk generasilah yang merupakan tugas utama seorang muslimah. 2) Memahami kewajiban utama ibu adalah berkiprah dalam keluarganya dan taat sepenuhnya kepada suami, melahirkan anak, mendidiknya, membesarkannya, menjadikan mereka sebagai generasi yang taat kepada orangtua dan generasi penerus perjuangan yang akan mampu mewujudkan peradaban mulia. Tugas ini membutuhkan rasa kasih sayang, poros utama kasih sayang berasal dari wanita yang menjadi ibu rumah tangga. 3) Mengetahui status hukum setiap aktivitas/pekerjaan (wajib, sunah, mubah, makruh, haram). Dengan mengetahui status hukumnya, kita akan mampu memilih mana yang harus diprioritaskan. Sudah semestinya seorang muslimah tidak memilih perkara mubah dengan meninggalkan yang wajib atau berkonsekuensi pada pelalaian kewajiban utamanya. 4) Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya, sehingga semua kewajiban dan aktivitas yang telah dipilihnya terlaksana dengan sempurna. 5) Mendapat izin dari wali/suami. Yaitu terikat dengan hukum syara’ yang berkaitan dengan aturan wanita keluar rumah, seperti menutup aurat, tidak berkhalwat, dsb.
Untuk menyempurnakan fungsi keibuan (motherhood) ini, Islam telah menetapkan aturan-aturan yang terkait, seperti hukum seputar kehamilan, penyusuan, pengasuhan dan perwalian.  Islam membolehkan perempuan yang sedang hamil  tidak berpuasa Ramadan  untuk menjamin bayinya tumbuh sempurna.   Islam menganjurkan para ibu menyusui bayinya selama 2 tahun.  Untuk menyempurnakan penyusuan ini, ibu juga dibolehkan tidak berpuasa. Islam juga menetapkan hukum hadhanah sebagai hak anak dan hak bagi setiap orang yang berhak mendapat pengasuhan, hak mengasuh ini hanya diberikan kepada orang yang “ahl” yaitu yang berhak dan mampu melaksanakan tugas pengasuhan. Maka seseorang yang menelantarkan anak, dia tidak berhak untuk mengasuh anak karena dia akan mengakibatkan kebinasaan bagi anak. Demikian juga orang fasik kalau pengasuhan diserahkan kepadanya maka anak juga akan binasa (dari segi akhlaknya, dll, ini juga termasuk kebinasaan), hadhanah juga tidak diberikan kepada orang kafir kecuali hadhanah ibu yang kafir pada anaknya. Islam juga menjadikan pengasuhan anak merupakan hak sekaligus kewajiban ibu sampai anak menginjak usia tamyis (sekitar 7-10 tahun).  Ini memastikan anak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari ibu yang menjaminnya untuk berkembang secara sempurna. Untuk bisa menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak dengan seoptimal mungkin, ibu dibebaskan dari berbagai kewajiban seperti shalat berjamaah di masjid, bekerja, berjihad, dan hukum-hukum lain yang akan menelantarkan fungsi keibuannya. Sementara para ayah diperintahkan untuk mencukupi nafkah ibu yang menyusui, bahkan bila pun ibu dicerai saat menyusui, ayah wajib membayar upah penyusuan (QS. Al Baqarah: 234).  Ini bertujuan agar ibu tidak perlu bekerja saat menyusui sehingga mengganggu hak anak mendapat penyusuan yang sempurna.
Islam juga menetapkan mekanisme yang menjamin seorang perempuan, dalam kondisi apapun tetap mendapatkan nafkah.  Bagi seorang istri, nafkahnya ditanggung oleh suami sebagaimana perintah Allah berikut: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (TQS. Al Baqarah: 233). Mekanisme tersebut sebagai berikut:
  • Bila suami meceraikannya, nafkahnya kembali menjadi kewajiban atas walinya, yaitu ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman dari pihak ayah atau anak laki-laki dari paman dari pihak ayah.  Bila bercerai tapi sedang menyusui maka ayah si anak wajib membayar upah penyusuan. Bila bercerai tidak diberi nafkah oleh mantan suaminya, maka nafkah kembali menjadi kewajiban atas walinya (ayah,saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki dari paman dari pihak ayah. Sedangkan anaknya, nafkah ditanggung oleh ayah anak tersebut baik anak ikut ayah atau ibu.
  • Bila suaminya meninggal, perempuan ditanggung nafkahnya oleh para wali.  Sedangkan anaknya, ditanggung nafkahnya oleh wali dari anak tersebut, yaitu kakek dari pihak ayah, paman dari pihak ayah, atau anak laki-laki dari paman tersebut.
  • Bila semua wali ini tidak ada atau tidak mampu, maka kewajiban nafkah perempuan ditanggung oleh negara.  Bila negara tidak memiliki dana, negara berhak untuk menarik pungutan dari rakyat yang kaya untuk memenuhi kewajibannya sebagai wali dari perempuan dan anak-anak yang tidak memiliki wali.
Dengan jaminan terhadap kehidupannya, perempuan bisa berkonsentrasi penuh pada kesempurnaan fungsi dan perannya sebagai ibu. Selain itu agar perempuan dapat menjalankan peran strategisnya sebagai istri dan ibu (pendidik generasi), butuh dukungan dari berbagai pihak, baik suami atau keluarga sebagai partner, masyarakat dan negara. Demi terwujudnya pelaksanaan tugas strategis perempuan sebagai pendidik anak atau pembentuk generasi, peran negara sangatlah penting. Negara yang dapat menjamin kesempurnaan fungsi perempuan sebagai ibu tersebut adalah Khilafah Islamiyah, bukan negara demokrasi yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti saat ini.
Mekanisme Khilafah dalam Menjamin Peran dan Tanggungjawab Ibu Tertunaikan dengan Sempurna
Khilafah adalah sebuah institusi/negara yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakat, tidak terkecuali perempuan. Karena khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam yaitu adanya penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. Di dalam Islam, negara menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang seperti pangan, sandang, papan dan strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang, negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa maka dapat dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa tersebut.
Adapun strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahapan strategi tersebut adalah:
1. Memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki adalah wajib. Banyak ayat ataupun hadist yang mendorong manusia untuk bekerja. Seperti dalam firman Allah SWT: “Dialah Allah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.(TQS. Al-Mulk: 15).
Bagi para suami hukum mencari rezeki untuk menafkahi keluarganya adalah fardhu. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: ”Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. Al-Baqarah:233).
2. Negara wajib menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang mampu bekerja dan dapat memperoleh pekerjaan, sehingga tidak akan ada istri yang terpaksa bekerja karena keadaan ekonomi keluarga, dan memilih bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Jika ada ibu yang mau bekerja, maka akan difasilitasi pekerjaan yang tidak menyita waktu, tidak mengabaikan kewajibannya kepada anak dan akan diatur shift kerjanya.
Di dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa posisi khalifah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat maka khalifah harus menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Sebagaimana Rasulullah saw pernah memberikan 2 dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw berkata kepadanya: “Makanlah dengan 1 dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja”. Kemudian pernah ada seseorang mencari Rasulullah saw, dengan harapan Rasulullah saw akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah seorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah saw memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja disana, nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw seraya mengucapkan terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang ia dapati.
Demikian pula pada masa khalifah Umar Bin Khattab, ketika mendapati 2 orang sedang berdoa kepada Allah di sebuah masjid, lalu khalifah berkata apa yang sedang engkau kerjakan, sedang orang-orang disana sini sibuk bekerja. Mereka lalu menjawab, “Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah. Mendengar jawaban tersebut maka marahlah Umar ra. seraya berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak. Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari masjid namun memberikan mereka setakar biji-bijian. Beliau lalu berkata kepada mereka, “Tanamlah dan bertawakkallah kepada Allah.
3. Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
4. Mewajibkan kepada tetangga yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan untuk menyambung hidup. Rasul saw bersabda: “Tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut”. (HR Al-Bazzar).
5. Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan dan seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Rasul saw bersabda, “Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Dan siapa saja yang mati sedang dia menyisakan hutang dhaya’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya aku akan menanggungnya.” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud). Hadist yang lain adalah bahwa Rasul pernah bersabda, ….Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan “Kalla, maka dia menjadi kewajiban kami (HR Imam Muslim).
Adapun pemenuhan Kebutuhan pokok berupa jasa (pendidikan, kesehatan, keamanan), pemenuhannya bersifat kolektif secara langsung oleh negara kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiga kebutuhan tersebut termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggungjawab menjamin ketiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim, miskin atau kaya. Seluruh biaya yang diperlukan, diambil dari baitul mal.
Sementara itu, kepada para perempuan negara juga wajib melaksanakan beberapa hal antara lain. Pertama, negara wajib melakukan pembinaan kepada para ibu, agar para ibu megetahui peran dan tanggungjawab utamanya. Negara juga harus memberikan pembekalan kepada para ibu/calon ibu mengenai pendidikan anak, sehingga mereka mampu melahirkan generasi umat yang mumpuni, yang berhasil menjadi penjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin dari masa ke masa. Kedua, menyediakan fasilitas pendidikan formal yang visi misi serta kurikulumnya sejalan dengan konsep pendidikan yang dicanangkan ibu di rumah. Ketiga, menghilangkan hal-hal yang bisa mengganggu atau merusak pendidikan yang telah ditanamkan ibu di rumah, seperti memberantas pornografi dan pornoaksi, menghilangkan tayangan yang berbau kekerasan, memberantas narkoba, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Jika negara menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya, maka pasti seorang perempuan/muslimah akan sangat terbantu dalam melaksanakan peran utamanya.
Negara yang akan menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat adalah negara yang dipimpin oleh orang yang memiliki rasa takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT dan negara yang diatur oleh syariat Islam. Begitu besar peran dan tanggungjawab seorang ibu di rumah, namun bukan berarti mereka terlarang beraktivitas di luar lingkungan keluarganya. Mereka boleh saja berkiprah di masyarakat, asal tidak mengabaikan tugas utamanya di rumah. Serta supaya perempuan mampu melaksanakan semua perannya dengan optimal, perlu campur tangan/ri’ayah negara. Negara yang akan dapat mengurus/meri’ayah rakyatnya adalah negara Khilafah Islamiyah yang membawa kesejahteraan bagi seluruh ummat.[] Wallahu a’lam bish shawab
*Disampaikan dalam Halaqah Syahriah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kampus Unpad

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ke bdn erie citayam

Call for tukang urut

Salute to ...