Mengenalkan Panji Rasulullah Sejak Dini


Al-Liwâ’ dan ar-Râyah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah saw. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera). Namun, secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula ar-râyah al-’azhîmah (panji agung), dikenal sebagai bendera negara dan simbol kedudukan pemimpin. Bendera ini tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan pasukan (amîr al-jaisy), yakni Khalifah4, atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath (tulisan) berwarna hitam “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh”, berjumlah satu.

Adapun ar-Râyah (jamak: ar-râyât) adalah panji berwarna hitam, dengan khath berwarna putih “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh”. Panji ini dinamakan pula al-’Uqâb. Ar-Râyah berukuran lebih kecil dibandingkan dengan aL-liwâ’. Panji ini digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), yang tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan sehingga berjumlah lebih dari satu.

Dalil-dalil Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah 

Banyak dalil as-Sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-Liwâ’ dan al-râyah. Ibn ’Abbas ra., misalnya, menyatakan, “Bendera (liwâ’) Rasulullah saw. berwarna putih dan panjinya (râyah) berwarna hitam (HR al-Hakim, al-Baghawi dan at-Tirmidzi).Ibn Abbas ra. Juga menyatakan:
«كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
Panji (râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan benderanya (liwâ’) berwarna putih; tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh (HR ath-Thabrani).
Jabir bin Abdullah ra. menyatakan, “Sesungguhnya liwa Nabi saw. pada Hari Penaklukkan Kota Makkah berwarna putih.” (HR Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban).

Yunus bin Ubaid, mawla’ Muhammad bin al-Qasim, berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutus aku kepada Bara’ bin ‘Azib. Aku bertanya tentang râyah Rasulullah saw. seperti apa? Bara’ bin ‘Azib menjawab, “(Ar-Râyah) berwarna hitam, berbentuk persegi panjang, dan terbuat dari kain wol.” (HR at-Tirmidzi, al-Baghawi dan an-Nasa’i),

Dalil-dalil di atas secara sharîh menisbatkan bendera dan panji dengan karakteristiknya yang istimewa kepada Rasulullah saw. Karena itu tidak aneh jika para ulama hadis bahkan menuliskan satu sub-bab khusus berkenaan dengan al-liwâ’ dan ar-râyah.

Kedudukan dan Fungsi Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah
Al-Liwâ’ dan ar-Râyah merupakan simbol kenegaraan Rasulullah saw. Hal itu ditandai dengan praktik Rasulullah saw. sebagai kepala negara, sekaligus komandan pasukan perang yang menjadikan al-Liwâ’ di tangannya, semisal ketika Fathu Mekkah; atau secara resmi memberikan mandat al-Liwâ dan ar-Râyah kepada orang pilihan yang diamanahi memimpin pasukan perang. Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. ketika Perang Khaibar, “Sungguh aku akan memberikan ar-Râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR Muttafaqun ’alayh).
Ketika bendera al-Liwâ’ diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang, maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para komandan detasemen pemegang ar-râyah dan para pasukan itu sendiri. Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh Imam (Khalifah) saja; tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan kedudukan Khalifah, pen.).

Ibn Bathal pun menukil penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadis az-Zubair ra. terdapat petunjuk bahwa ar-Râyah tidak diserahkan kecuali dengan izin Imam (Khalifah) karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan kedudukannya. Karena itu tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali berdasarkan perintah Khalifah.     Hadis ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut.

Ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Saad ra. adalah salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi saw. Hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi saw.10 Sebagaimana Ali bin Abi Thalib kw. dan Saad bin Ubadah ra. yang juga pernah menerima mandat ar-Râyah dari Rasulullah saw.

Adanya mandat resmi dalam mengemban al-Liwâ’ dan ar-Râyah, menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah saw. sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (Ad-Dawlah al-Islâmiyyah). Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis adanya konsep negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah saw. bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Bahkan bukan sembarang negara, Nagara yang dibangun Rasul saw. adalah negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada al-Liwâ’ dan ar-Râyah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah saw. Negara wajib berasaskan akidah Islam. Kaum Muslim tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai asasnya. Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliah (lihat: QS al-Maidah [5]: 50) yang mengundang malapetaka (lihat: QS Thaha [20]: 124).

Penisbatan al-Liwâ’ dan ar-Râyah dalam hadis dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah saw. pun memperjelas kedudukannya sebagai syiar Islam. Apalagi kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran. Kalimat ini menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, yakni ikatan akidah Islam. Jadi jelas bahwa keduanya termasuk syiar Islam yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagung-kan dan menjunjung tinggi syiar Islam sesungguhnya merupakan bagian dari apa yang Allah SWT firmankan:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan kalbu (QS al-Hajj [22]: 32).
Inilah sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah. Syaikh an-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H), saat menukil ayat ini, menjelaskan, di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar Din-Nya. Sifat takwa ini ditunjukkan oleh sikap para Sahabat, Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zaid mengambil ar-Râyah, lalu ia gugur. Kemudian Ja’far mengambil ar-Râyah itu, lalu ia gugur. Selanjutnya Ibn Rawahah mengambil ar-Râyah itu, lalu ia pun gugur.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Kriminalisasi Terhadap Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah

Salah satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslim saat ini adalah stigmatisasi negatif terhadap panji ar-râyah sebagai bendera teroris (irhâbiyyah) dan adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji ar-râyah yang dijadikan barang bukti terorisme Bom Bekasi (news.detik.com,15/12/2016). Padahal tidak ada relevansi antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam dan panji al-râyah sebagai syiar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.

Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam hakikatnya merupakan bagian dari penyesatan opini. Ia menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia dan menyesatkan mereka semua dari kebenaran (QS al-Hijr [15]: 39). Dalam sirah, kejahatan ini telah dipraktikkan kaum kuffâr yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng orang terdahulu; juga stigma bahwa Rasul saw. adalah orang yang hilang akaldukun dan penyair. Itu semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah SWT.

Kebatilan tersebut kini tampil dalam kemasan baru; menstigma negatif simbol dan ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Ini adalah termasuk dari apa yang Allah SWT peringatkan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ {٦}
Di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (QS Luqman [31]: 6).
Jelas, ini merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai, dihadapi dan diluruskan. Pasalnya, dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam merupakan kemungkaran sehingga termasuk tindak kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman. Kondisi dan bahayanya, sebagaimana peringatan al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, “Imperialisme tak sekadar menggu-nakan  tsaqafah ini, bahkan meracuni kaum Muslim dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslim yang lurus. Dengannya rusak suasana islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslim…”

Teladan Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Lalu bagaimana sikap Rasulullah saw. dan para Sahabat terhadap al-Liwâ’ dan ar-Râyah? Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah saw. dan para Sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya; menjadikan itu sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia. Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah saw. kepada pemegang panji ar-râyah ketika Perang Khaibar, “Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang yang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya; ia mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR Muttafaq[un] ’alayh).
Kalimat setelah kata rajul[an], “yuftahu ’alâ yadayhi, yuhibbuLlâha…”, menunjukkan sifat-sifat mulia dari lelaki (rajul[an]) yang akan diamanahi oleh Rasulullah saw. untuk mengemban ar-râyah, sesuai kaidah: “al-jumalu ba’da al-nakirât shifât[un]”. Rasulullah saw. akhirnya menyerahkan ar-râyah kepada ’Ali bin Abi Thalib saw.

Bagaimana sikap para Sahabat? Dalam hadits ini digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’ dan al-râyah dalam Islam.

Ibn Bathal (w. 449 H) bahkan menegaskan bahwa mandat resmi dalam serah-terima al-Liwâ’ dan ar-Râyah termasuk sunnah Rasulullah saw. yang harus diteladani oleh kaum Muslim. Ia menuturkan: Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan ar-Râyah.” Kata ar-râyah yang diungkapkan dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lâm, yakni sudah dikenal secara spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah saw. (min sunnatihi) dalam berbagai peperangannya. Karena itu sudah seharusnya hal tersebut diikuti (oleh kaum Muslim).”

Karena itu kaum Muslim tidak boleh memandang al-Liwâ’ dan ar-Râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah saw. dan para Sahabatnya. Mereka harus tergerak untuk mengibarkan keduanya kembali, dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid. Demikianlah sebagaimnana kata penyair:
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
          Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun
          Kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.16

Menyoal Pelibatan Anak Dalam Kampanye

Pro kontra pelibatan anak dalam kampanye menyeruak sejak hari pertama masa kampanye dan masih tetap hangat beritanya sampai sekarang. Menurut pantauan Baswalu (Badan Pengawas Pemilu), hampir semua partai menghadirkan anak anak sebagai peserta kampanye. Padahal terdapat larangan yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan ketentuan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang larangan parpol melibatkan anak-anak dalam kampanye.

Mereka beralasan, mulai dari tidak ada pengasuh di rumah hingga untuk pendidikan politik sejak dini (Liputan6.com, 18/3/2014). Pemerhati anak Eni Eryani menilai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Undang-undang tentang Perlindungan Anak terkait kampanye sangat subyektif. Eni menilai larangan ini menjadi dilematis bagi orangtua yang memiliki anak. Sementara parpol tidak dapat melarang orangtua yang memiliki anak untuk membawa anaknya turut berkampanye. (metrotvnews.com, 18/3/ 2014)
Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Asrorun Ni’am Sholeh saat dihubungi  Liputan6.com, Selasa (18/3/2014) menolak berbagai alasan tersebut.  Kata Asrorun, “Partisipasi anak harus didorong sebagai salah satu pilar pembangunan tapi mengajak anak kampanye tidak sama dengan pendidikan politik.” “Selain itu, kampanye terbuka sangat erat hubungannya dengan tren hura-hura dan berbagai sajian hiburan. Banyak masalah sosial anak yang harus dilindungi dari kepentingan,” tandas Asrorun.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (komnas PA), Arist Merdeka Sirait menilai bahwa pendidikan  politik untuk anak adalah mengajarkan demokrasi, saling menghargai dan pendidikan untuk menyampaikan pendapat yang bisa dilakukan di rumah, sekolah atau tempat lainnya selain di arena kampanye.  Ia mengkhawatirkan keselamatan anak. Komnas PA mencatat pada pagelaran Pemilu 2009 lalu, ada enam anak yang tewas karena berpartisipasi dalam kampanye. Ada anak yang tewas karena tertimpa panggung, ada anak yang jatuh dari sepeda motor saat ikut orang tuanya kampanye, ada juga yang tewas karena truk yang ditumpanginya terperosok ke jurang..

Pelibatan Anak Dalam Kampanye, Pendidikan Politik?

Klaim pelibatan anak dalam kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik sejak dini adalah sah sah saja. Tapi pendidikan politik seperti apa yang akan didapatkan anak? Akankah anak mendapatkan pendidikan politik yang sebenarnya dari kampanye?
Pada dasarnya di dalam kampanye, anak akan belajar tentang demokrasi. Anak akan melihat secara langsung  bahwa di dalam sistem demokrasi, hukum Allah akan diperlakukan setara dengan hukum (buatan) manusia. Aturan Allah akan bersaing dengan hukum manusia untuk mendapatkan tempat di hati rakyat.  Ketika rakyat lebih memilih hukum buatannya sendiri sehingga bermaksiat dan menentang hukum Allah, maka tak ada yang punya kuasa untuk mencegahnya.
Anak akan melihat bahwa di dalam demokrasi, tak semua muslim harus menerapkan  syariat Islam. Ada muslim yang bergabung di parpol yang ingin menerapkan syariat Islam (sekalipun itu secara parsial ataupun hanya sekedar pelabelan), ada juga muslim yang mendukung parpol yang tidak menghendaki atau bahkan jelas jelas menolak syariat Islam. Semuanya boleh dan halal.
Anak juga akan belajar, bahwa di dalam sistem demokrasi, politik identik dengan kekuasaan dan legislasi. Semua orang berlomba untuk duduk sebagai penguasa dan anggota legislatif yang akan berkuasa membuat hukum yang tentu menguntungkan diri mereka  sendiri.  Semua orang juga bebas  menempuh segala cara untuk meraih kekuasaan tersebut. Tak adalagi halal dan haram.  Contoh kecil, berbohong yang menurut syariat adalah haram, tetapi di dunia politik menjadi halal. Banyak sekali kebohongan berupa janji janji muluk di kampanye yang sangat kecil kemungkinannya untuk dipenuhi. Suap menyuap juga jual beli suara yang jelas jelas menyimpang dari syariat, juga bukan hal yang aneh di masa kampanye.
Anak juga akan belajar bahwa uang menjadi penentu siapa yang akan berkuasa.  Siapapun dan dari parpol manapun yang punya uang  banyak, maka akan sering tampil di televisi atau di spanduk jalanan, baliho atau bahkan di kaca belakang angkot (angkutan kota) dll sehingga lebih popular(dikenal) dan akhirnya akan menang. Siapa yang punya uang banyak, maka akan bisa banyak membagi bagikan uang, sembako, atau hadiah hadiah lainnya ke rakyat hingga akan terpilih dan berhasil menang.
Pendidikan politik seperti inikah yang diinginkan? Apakah ini pendidikan politik ataukah justru pembodohan politik bagi anak? Sudah tak perlu jawaban lagi. Jelas, sebenarnya anak tak mendapatkan pendidikan politik yang sebenarnya dari  kampanye. Maka jelas ini adalah sebuah eksploitasi. Anak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan partai yang berkampanye.
Di samping itu, anak juga akan mendapatkan resiko tindak kekerasan karena memang tak ada jaminan anak aman dalam kampanye. Patut dicatat, sudah banyak berita di media yang mengabarkan tentang caleg (calon legislatif) yang dikeroyok, dianiaya atau bahkan dibunuh oleh lawan politiknya. Aturan maupun sanksi yang ada seakan tak bisa mencegah hal tersebut. Padahal itu terjadi masih jauh dari masa kampanye maupun pemilunya sendiri. Tentu kerawanan akan meningkat dengan semakin dekatnya pemilu. Dalam kondisi seperti ini, maka melibatkan anak dalam kampanye sangat riskan bagi keselamatan anak.
Anak anak juga  akan melihat banyaknya pelanggaran hukum Allah di arena kampanye. Seperti bercampur baurnya antara laki laki dan perempuan yang bukan mahram, berbagai hiburan yang disuguhkan di panggung kampanye yang banyak menyimpang dari syariat, juga aurat perempuan yang diumbar dan sebagainya. Ini  jelas bukan pendidikan yang baik bagi anak.
Sangat nyata, bukan pendidikan politik hakiki yang akan didapatkan anak dari kampanye, melainkan pembodohan politik juga eksploitasi. Anakpun rawan dari kekerasan fisik maupun bahaya terhadap akhlak. Bagaimana dengan Islam?

Pendidikan Politik di Dalam Sistem Khilafah

Pendidikan politik ala demokrasi  menanamkan keyakinan untuk menjadikan politik sebagai upaya meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Adapun pendidikan politik di dalam Islam menumbuhkan kesadaran agar menjadikan politik tidak semata mata sebagai upaya meraih kekuasaan melainkan upaya untuk pemeliharaan seluruh urusan umat manusia. Politik dilakukan oleh negara maupun umat. Negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui penerapan hukum, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.
Bentuk pengawasan dan pengoreksian yang dilakukan oleh umat terhadap para penguasa, pada dasarnya adalah aktivitas amar makruf nahi mungkar yang memang diwajibkan oleh Allah sebagaimana firmanNya “Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mecegah kemungkaran. (QS at-Taubah [9]: 71). Juga firmanNya “Hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS Ali Imran : 104)
Kaum muslimin negeri ini sedang dalam keadaan terdzalimi karena kebijakan penguasa yang tidak menerapkan syariat.  Keadaan  inilah yang harus diubah dan menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin negeri ini untuk mengubahnya. Menyeru penguasa untuk menerapkan syariat dan menegakkan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi berbagai masalah negeri ini adalah bentuk kepedulian dan amar makruf nahi mungkar. Realisasinya bisa dalam bentuk  aksi damai (non kekerasan) secara berjamaah.
Melibatkan anak anak dalam aksi seperti ini  adalah pengajaran kepada anak sejak dini agar memiliki kesadaran politik yaitu sadar dan peduli dengan kondisi kaum muslimin. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Dan barang siapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR. Ath-Thabari).  Inilah pendidikan politik yang sebenarnya.
Sejarah mencatat, pemuda-pemuda Islam di masa kejayaan Islam dahulu adalah para pemuda yang menghabiskan waktu, tenaga , pikiran dan semuanya hanya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.  Dakwah  menjadi bagian keseharian mereka. Pastilah mereka sudah mendapatkan pendidikan politik sejak dini.
Lihatlah shahabat Ali bin Abi Thalib ra, sekalipun saat itu tak terdefinisikan apa itu pendidikan politik, tapi dipastikan Ali ra sudah mendapatkan pendidikan politik dan melakukan aktivitas politik bersama Rasul Saw di usia masih sangat muda. Bayangkan, di usia delapan tahun Ali  masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga  menjalankan syariat dan berjuang serta berdakwah bersama Rasul Saw. Berbagai ancaman harus dihadapinya  bahkan terkadang  nyawa menjadi  taruhannya.
Sejarah juga mengajak kita merenungkan,  bagaimana cara mencetak  sosok pemimpin seperti Muhammad Al Fatih. Di usianya yang baru berusia 24 tahun,  telah memimpin 250.000 pasukan menaklukkan benteng Konstantinopel, padahal benteng ini tak pernah bisa ditaklukkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun.  Jelas, pendidikan politik telah didapatkan al Fatih  sejak usia dini hingga mampu mencetaknya menjadi politikus sekaligus negarawan kaliber dunia di usianya yang masih sangat belia.
Keberhasilan para pemuda ini adalah buah dari pendidikan yang tentu dilakukan sejak mereka masih kanak-kanak. Dan keberhasilan ini  hanya dimungkinkan terjadi secara massal ketika syariat Islam diterapkan secara total (menyeluruh)  oleh system Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Ketika pendidikan system khilafah diterapkan, tak terhingga kemajuan dan keberhasilan mencetak para ulama, cendekiawan, politikus, ilmuwan, negarawan yang tak hanya menguasai keahlian di bidangnya tetapi juga sekaligus para pejuang Islam yang senantiasa berjuang demi untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Pelibatan Anak Dalam Aksi Amar Makruf Nahi Mungkar, Bukan Eksploitasi

Pelibatan anak dalam pengerahan massa semacam aksi amar makruf nahi mungkar sangat berbeda dengan kampanye.  Sama sekali tdak ada eksploitasi anak di sini.  Justru hal ini  adalah momen  penting untuk pembelajaran anak. Mereka bisa melihat secara langsung dan juga merasakan bagaimana sulitnya memperjuangkan Islam.  Berdesak desakan dan berpanas panasan di kendaraan maupun di tempat aksi,  terkadang juga harus berjalan cukup jauh di bawah terik matahari pagi hingga menjelang siang, bahkan terkadang harus berlarian ketika tertinggal barisan dan sebagainya.
Anak akan melihat dan membandingkan bahwa ia dan orang tuanya telah mencurahkan  tenaga, pikiran, waktu  juga harta untuk memperjuangkan nasib kaum muslimin dan  tegaknya hukum-hukum Allah. Sedangkan orang tua dan anak-anak yang lainnya, mungkin juga sedang berpanas panasan, tapi untuk jalan-jalan ke tempat-tempat rekreasi, belanja dan bersenang-senang. Ini adalah bekal berharga yang akan membentuk pola pikir dan perilaku anak  kelak ketika sudah dewasa. Membentuknya menjadi sosok pribadi yang kokoh iman, taat syariah, dan menjadi pejuang Islam.
Aksi damai semacam ini juga tidak akan  membahayakan anak. Sejak awal yang diinginkan dari aktivitas ini adalah amar makruf nahi mungkar maka tentu tidak akan menempuh cara kekerasan. Para pejuang syariat tentu tidak akan menempuh cara menyimpang dari syariat demi untuk menerapkan syariat. Di samping itu,  sang ayah atau ibu pasti sudah  mempertimbangkan kondisi fisik  anak ketika mengajak sang buah hati mengikuti aksi. 
Pendidikan politik sejak dini pun tercapai, yaitu anak anak belajar untuk peduli dengan permasalahan kaum muslimin. Dan mereka pun dididik dan dipersiapkan untuk menjadi generasi pemimpin masa depan yang menjadikan politik sebagai jalan meraih ridla Allah yaitu dengan menjadikan syariat Allah sebagai satu satunya aturan untuk mengatur dan mengurus seluruh permasalahan umat. Wallahu a’lam bishshowab. []

Sumber:

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/04/16/pendidikan-politik-sejak-dini-antara-demokrasi-vs-khilafah-2/
shabran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ke bdn erie citayam

Call for tukang urut

Salute to ...