Calon Libur 3 Hari!
Pada mau ikut pilkada katanye

Jadi inget pertanyaannya bapak supir taksi pas aku pulang dari kantor ke tangerang hari jum'at lalu, "Emang mba mau milih siapa nanti?"
Saya mau milih yang mau nerapin syariat Islam dan Khilafah, dan yang mau ganti sistem republik ini jadi sistem pemerintahan Islam.
Sepertinya belum ada, jadinya perjuangkan dulu diterimanya opini syariah Islam dan khilafah ke masyarakat luas, nanti masyarakat juga akan menuntut diterapkannya syariah Islam,
But it is a long long long road.... apalagi kalo gerakan pengopiniannya slow motion...
Tapi harus dijalani, dan tetep harus diperjuangkan
Syariah Islam dan Khilafah
sampai titik darah penghabisan
Allahu akbar :)
Nah ini salah satu artikel penjelasannya, dari sini.
Memilih Siapa?
Hidup adalah pilihan. Selaku muslim haruslah cerdas dalam menentukan pilihan. Yang dijadikan tolak ukur dalam setiap pilihan seorang muslim adalah hukum syara. Dalam aktivitasnya, seorang muslim harus juga berpatokan pada halal dan haram. Sehingga setiap aktivitasnya bernilai ibadah.
Permasalahan dukung-mendukung bukan semata dilihat dari figur, visi dan misi pragmatis, perintah (taklif), atau siapa calon yang memberi dana paling banyak. Namun, yang paling penting dipersoalkan adalah apa yang dijadikan standar dari seorang pemimpin dalam mengurusi rakyatnya?. Standar disini dimaksudkan sebagai sistem dan hukum apa yang dijadikan sandaran bagi pemimpin itu.
Mari bertanya pada diri masing-masing. Apakah UUD 1945, undang-undang lain yang eksis, serta peraturan-peraturan lainnya bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah? Atau produk-produk hukum tersebut hanyalah buatan manusia? Jika produk-produk hukum itu bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, maka di negara ini akan terlihat bahwa miras diharamkan, perzinahan diharamkan, hubungan sesama jenis diharamkan, pengelolaan sumber daya alam haram diserahkan pada asing, judi diharamkan, murtad dari Islam tentu diharamkan dan lain sebagainya. Pun, jika bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, maka poligami tidak perlu dipermasalahkan, seks bebas tidak dilegalkan, memiliki anak banyak tak perlu diributkan, setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Apakah layak dikatakan bersumber pada hukum Allah jika sistem dan hukum yang eksis sekarang menghalalkan yang diharamkan Alah serta mengharamkan yang dihalalkan Allah? Karenanya, calon kepala daerah yang nantinya terpilih, secara otomatis yang menjadi dasar tugas kepemimpinannya adalah sistem dan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Padahal Allah SWT memerintahkan manusia untuk berhukum sesuai dengan hukum Allah SWT. Lalu bagaimana sikap kita seharusnya?
Berbicara memilih dalam pesta demokrasi, jangan terjebak dalam kotak memilih nomor urut pasangan calon kepala daerah dan wakil. Tidak memilih pun merupakan suatu pilihan. Tidak memilih dalam hal ini berarti tidak ikut berpartisipasi dalam tolong-menolong dalam kemaksiatan. Korelasinya bagaimana? Calon kepala daerah dan wakil, nantinya akan membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan peraturan hukum yang ada (yang tidak bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah). Ketika pemimpin melaksanakan bahkan membuat hukum yang tidak bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, maka itu adalah sebuah kemaksiatan. Posisi yang diduduki pemimpin itu sehingga dapat membuat dan melaksanakan hukum, tidak lain karena andil dan kontribusi rakyat ketika pemilihan umum. Secara tidak langsung, ketika rakyat memilih calon kepala daerah, maka sebetulnya memberikan peluang kepada calon terpilih untuk melakukan kemaksiatan. Dengan kata lain, menolong orang lain untuk melakukan kemaksiatan.
Selanjutnya, tinggal diserahkan bagaimana anda menentukan pilihan. Memilih salah satu calon kepala daerah yang berarti ikut andil menolong orang lain berbuat maksiat atau tidak memilih dan terhindar dari dosa akibat maksiat yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih?
Mashlahat Bukan Sandaran
Ada sebagian orang berargumen, nanti kalau umat Islam tidak memilih maka kepemimpinan dikuasai oleh orang kafir, orang-orang yang bukan dari partai Islam, dan lain sebagainya. Sampai menyatakan: “satu suara menentukan”. Kaitannya dengan hal tersebut, maka kembali lagi bahwa sandaran kaum muslimin adalah al-Quran dan as-Sunnah. Dalam perkara halal dan haram, tidak berlaku mana yang memiliki mashlahat lebih banyak daripada mudharat. Ketika Allah putuskan sesuatu halal, maka itu halal. Begitu pun, ketika Allah putuskan sesuatu haram, maka itu haram.
Allah SWT memerintahkan pemimpin dalam mengurusi rakyatnya bersumber pada hukum-Nya. Allah SWT berfirman: “… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (Q.S Al-Maidah: 48). Sesungguhnya telah jelas, kewajiban yang Allah perintahkan adalah memutus perkara sesuai dengan hukum-Nya. Jika suatu kewajiban ditinggalkan/dilanggar maka bagi pelakunya sesungguhnya telah malakukan kemaksiatan dan itu mendapat ganjaran dosa. Oleh karena itu, dalil mashlahat tidak bisa menjadi rujukan bagi kaum muslimin dalam perkara halal dan haram.
***
Wallahu alam bi ash showab :)
Komentar
Posting Komentar