Dakwah Politik: Ajaran Islam yang Mulia
Menteri
Agama Lukman Hakim Syaifuddin menegaskan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
merupakan gerakan politik.
Hal tersebut diungkapkan menyikapi pembubaran HTI yang dilakukan
pemerintah.
"Sikap politik pemerintah terkait dengan pembubaran HTI
adalah sikap yang dilandasi dengan penilaian bahwa yang dilakukan HTI adalah
gerakan politik bukan dakwah keagamaan," kata Lukman di Gedung DPR RI,
Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Lukman mengatakan dasar itulah yang membuat penanganan HTI di
bawah Kemenkopolhukkam.
Politikus PPP itu menjelaskan gerakan HTI berupaya mengubah ideologi Pancasila.
Politikus PPP itu menjelaskan gerakan HTI berupaya mengubah ideologi Pancasila.
Karenanya,
kata Lukman, pemerintah memandang alasan pembubaran bukan karena gerakan dakwah
keagamaan.
Tapi politik yang ingin mengubah ideologi negara.
"Dengan demikian sama sekali tidak benar anggapan yang
berkembang di sebagian kalangan bahwa pemerintah anti ormas Islam," kata
Lukman.
Lukman menuturkan sikap pemerintah membubarkan HTI akan
ditindaklanjuti dengan proses hukum.
Sebab, pemerintah mengikuti Undang-Undang Organisasi Masyarakat
yang berlaku.
"Pembubaran Ormas harus berdasar prosedur hukum dan itu
melalui peradilan," ucapnya.
Atas dasar tersebut, dalam waktu dekat pemerintah akan
menindaklanjutinya dengan menempuh jalur hukum ke pengadilan.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
meminta agar pemerintah tidak perlu takut setelah mengambil langkah tegas
pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). PBNU juga membantah keras klaim HTI
yang menegaskan aktifitasnya sebagai dakwah.
“Langkah
pemerintah untuk membubarkan HTI bukan berarti penghambatan terhadap kegiatan
dakwah Islam. Karena itu tak perlu takut propaganda mereka. Kami yakin langkah
pemerintah ini berbalas pahala dari Allah SWT. Baik di dunia maupun di akhirat
kelak,” kata Ketua PBNU H M Sulton Fatoni MSc, di Jakarta belum lama ini.
Kiai
Sulton juga membantah klaim HTI bahwa aktifitasnya selama ini adalah tentang
dakwah terkait aqidah, syakhsiyyah, syariah, yang diajarkan Islam dan tidak
bertentangan dengan Pancasila.
“Mereka
bertutur tentang akidah dan ujungnya mendoktrin khilafah. Berdakwah tentang
syariah dan puncaknya mengajak mendirikan khilafah. Semuanya bermuara pada
khilafah. Itu otomatis anti Pancasila. Itu bukan dakwah tapi gerakan politik,”
kata kiai muda pengasuh Ponpes An-Nahdlah, Pamulang tersebut.
Karena
itu PBNU mendukung penuh langkah pemerintah membubarkan HTI. Publik sudah
merasakan bahwa saat ini pemerintah telah tegas terhadap kelompok yang membuat
negara ini terancam dan mencekam.
“Diantara
tanda-tanda pemerintah berjalan Islami itu mampu melindungi rakyatnya, membuat
tenang dan tenteram rakyatnya. Dan langkah membubarkan HTI itu sudah sangat
islami,” tegas Kiai Sulton.
Rencana pembubaran HTI dicoba dikuatkan dengan opini bahwa HTI
tidak melakukan dakwah tapi aktifitas politik. Diharapkan umat akan menilai
kiprah HTI tidak murni memperjuangkan Islam namun bertendensi politik yang dimaknai sekedar intrik dan tipu
daya agar duduk di kursi kekuasaan.
Padahal semestinya difahami bahwa dakwah Islam tidak boleh
meninggalkan aspek politik. Bahkan Islam sangat memuliakan dan mendorong
aktifitas politik. Politik dalam Islam bermakna
‘pemeliharaan urusan umat dengan hukum-hukum syariat’. Politik bahkan
merupakan amal yg bisa menghantar pelakunya menjadi penghulu para syuhada.
Hadits rasul; “Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yg berdiri di hadapan
penguasa lalim, menasihati dan ia terbunuh”.
Karena
itu jangan biarkan umat tergiring pada opini menyesatkan bahwa dakwah harus
dijauhkan dari politik, justru politik sekuler hari ini harus diubah dengan
dakwah mengenalkan dan memperjuangkan tegaknya politik Islam.
Dakwah politik (da’wah siyasiyah) artinya adalah mengemban
dakwah Islam melalui jalan politik, yaitu dakwah dengan metode melakukan
aktivitas politik (‘amal siyasi) (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 14). Aktivitas politik adalah segala aktivitas yang
terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah
syu’un al-ummah), baik yang terkait dengan
kekuasaan (as-sulthan)
sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pe-ngaturan urusan masyarakat secara langsung,
maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawa-san (muhasabah) terhadap aktivitas kekuasaan
dalam mengatur urusan masyarakat (Mafahim Siyasiyah li
Hizb at-Tahrir, 2005, hlm. 5).
Jadi, dakwah politik yang dimaksudkan di sini bukanlah dakwah
sebagai bagian aktivitas kekuasaan, melainkan sebagai aktivitas masyarakat,
khususnya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dakwah politik yang dilakukan
kelompok-kelompok Islam ini intinya adalah muhasabah atau amar ma’ruf nahi munkar kepada kekuasaan. Dengan melakukan dakwah politik, berarti sebuah
kelompok telah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang diwajibkan oleh Allah kepada umat Islam (QS Ali ‘Imran [3]:
104).
Bentuk dakwah politik bisa bermacam-macam. Misalnya melakukan
perjuangan politik (al-kifah as-siyasi), seperti mengkritik penguasa yang menjadi pelayan kepentingan
Barat, mengkritik kebijakan penguasa yang menjalankan agenda neoliberalisme,
dan sebagainya. Contoh lainnya adalah melancar-kan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri) seperti mengkritik demokrasi,
kapitalisme, nasionalis-me, sosialisme dan ide-ide kufur lainnya.(Hazim ‘Ied
Badar, Thariqah Hizbut Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 2).
Perlu diberi catatan, bahwa dakwah politik tidak boleh
menghalalkan segala cara, melainkan wajib berpegang teguh dengan syariah Islam.
Maka dari itu, aktivitas kelompok atau partai Islam yang mengikuti Pemilu dalam
sistem demokrasi-sekuler dengan meninggal-kan hukum-hukum syariah Islam tidak
dapat disebut dakwah politik, melainkan hanya tindakan pragmatis yang justru
sangat jauh dari Islam. Misalnya, sikap presiden baru Mesir, Muhammad Mursi,
yang menyatakan tidak akan menerapkan syariah Islam dalam kekuasaannya, atau
sikapnya yang tetap mempertahankan segala perjanjian internasional yang ada,
termasuk Perjanjian Camp David yang melegitimasi negara Israel. Ini semua
tentunya tidak termasuk aktivitas dakwah politik yang syar’i, melainkan hanya aktivitas
politik pragmatis yang bertentangan dan bahkan mengkhianati nilai-nilai Islam.
Pentingnya Dakwah Politik
Dakwah politik penting untuk dilaksanakan oleh umat Islam,
khususnya oleh kelompok-kelompok Islam saat ini. Mengapa? Ada dua alasan utama.Pertama: karena dakwah politik inilah
yang dulu dicontohkan oleh Rasulullah saw. pada tahap dakwah beliau selama 13
tahun di Makkah. Rasulullah saw. waktu itu melakukan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) dengan mengecam para pemimpin
Quraisy, membongkar kejahatan dan rencana mereka yang bertujuan untuk
menghancurkan dakwah Islam yang dilaksanakan Rasulullah saw., dan sebagainya.
Rasulullah saw. juga melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri) dengan menyerang ide-ide
kufur, misalnya ide menyekutukan Allah (syirik), mencela penyem-bahan berhala,
mencela kecurangan dalam menimbang dan menakar, mencela perbuatan membunuh
anak-anak karena takut miskin, dan sebagainya (LihatAl-Waie (Arab), No 305, Jumadil Akhir 1433/Mei 2012, hlm. 26-27; M. Husain
Abdullah, At-Thariqah Asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah
Al-Islamiyah, hlm. 82).
Dengan demikian, melaksanakan dakwah politik sesungguhnya adalah
aktivitas meneladani Rasulullah saw. sebagai uswatun
hasanah yang diwajibkan Islam atas kaum Muslim (QS Al Ahzab [33]: 21).
Kedua: karena dakwah politik inilah
yang relevan dengan masalah utama (qadhiyah mashiriyah) umat Islam sekarang. Masalah utama umat adalah mengembalikan
hukum yang diturunkan oleh Allah SWT dengan jalan menegakkan kembali negara
Khilafah, dengan cara mengangkat seorang khalifah (nashb al-khalifah) bagi kaum Muslim. Masalah
utama umat ini dengan sendirinya menuntut aktivitas yang relevan pula, yaitu
aktivitas politik (‘amal siyasi). Sebab, aktivitas menegakkan kembali Khilafah ini tiada lain
adalah aktivitas politik, karena Khilafah adalah sebuah institusi politik.
Mengangkat seorang khalifah (nashb al-khalifah) juga merupakan aktivitas politik, karena khalifah adalah
pimpinan tertinggi institusi politik Islam tersebut. (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 14-15).
Konsekuensi Meninggalkan Dakwah Politik
Meninggalkan dakwah politik banyak konsekuensinya. Paling tidak
ada 3 (tiga) konsekuensi penting. Pertama: umat Islam akan terabaikan dari masalah utamanya. Kelompok Islam
yang meninggalkan dakwah politik, lalu memilih dakwah melalui jalan lain,
misalnya aktivitas sosial kemasyarakatan, berarti mengabaikan masalah utama
umat Islam. Meskipun jalan aktivitas sosial kemasyarakatan itu tetap terhitung
amal yang salih (sesuai syariah Islam), misalnya membangun pesantren, rumah
sakit, atau sekolah, semua tidak memiliki relevansi dengan masalah utama umat
Islam, yaitu mengembalikan hukum yang diturunkan oleh Allah dengan jalan
menegakkan kembali negara Khilafah. Aktivitas sosial kemasyarakatan itu juga
tidak mungkin merealisasikan tujuan yang diwajibkan atas kaum Muslim tersebut (Manhaj
Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15).
Dengan demikian, konsekuensi meninggal-kan dakwah politik adalah
akan menjauhkan umat Islam dari perjuangan hakiki yang seharusnya ditempuh
untuk mengatasi masalah utama (qadhiyah mashiriyah). Umat Islam dapat terbius dan merasa puas karena merasa sudah
mampu membangun pesantren, sudah mampu membangun banyak sekolah dan rumah
sakit, dan seterusnya. Padahal pada waktu yang sama, umat justru lalai dari
kewajiban suci nan agung yang mustinya mereka jalankan, yaitu melakukan dakwah
politik yang relevan dengan masalah utama (qadhiyah
mashiriyah) yang tengah dihadapi. Ringkasnya,
meninggalkan dakwah politik akan membuat umat terlalaikan dari masalah utama
mereka.
Seharusnya, mereka yang berkecimpung dalam aktivitas sosial
kemasyarakatan tidak mengabaikan sama sekali aktivitas dakwah politik untuk
mengembalikan Khilafah. Seorang pengajar pesantren, misalnya, pada waktu yang
sama, seharusnya juga melakukan dakwah politik. Seraya tetap mengajar di
pesantren, dia sebenarnya dapat berkiprah menjadi bagian kelompok Islam yang
berjuang untuk menegakkan Khilafah. Ini tidak mustahil dan faktanya ada.
Kedua: umat Islam akan semakin lama
mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat tiadanya Khilafah. Sudah jelas
bahwa tiadanya Khilafah telah terbukti menimbulkan penderitaan umat dalam
segala aspek kehidupan, baik aspek ideologi, politik, ekonomi, peradilan,
budaya, hukum, pendidikan, pemikiran, maupun sosial. Jadi meninggalkan dakwah
politik artinya adalah berkontribusi secara negatif dalam melestarikan
penderitaan umat yang sangat dahsyat ini. Nau’zhu
billah min dzalik (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, Malapetaka
Akibat Hancurnya Khilafah, Bogor: Al-Azhar Press, 2004).
Ketiga: hal lain yang tak kalah
penting, meninggalkan dakwah politik berarti akan menimbulkan dosa. Sebab,
dakwah politik hukumnya wajib secarasyar’i, karena dakwah politik inilah metode yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. pada periode Makkah dulu. Kendatipun hukum asalnya adalah
fardhu kifayah, hukum fardhu kifayah ini sekarang sudah berubah menjadi fardhu
‘ain. Pasalnya, dengan orang-orang yang berjuang sekarang ternyata belum
tercapai kecukupan (kifayah) untuk mewujudkan tujuan dakwah politik, yaitu tegaknya Khilafah.
Sudah dimafhumi, meninggalkan kewajiban adalah dosa (Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 4).
Allah SWT berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih (QS an-Nur [24] : 63).
Konsekuensi Menjalani Dakwah Politik
Menjalani dakwah politik akan menghadapi berbagai konsekuensinya.
Menurut Syaikh M. Husain Abdullah dalam kitabnya At-Thariqah
asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 86-92, setidaknya
terdapat 4 (empat) konsekuensi. Pertama: dakwah politik akan menghadapi perlawanan dari penguasa sistem
sekular yang menjadi antek-antek kafir penjajah. Mereka akan menggunakan
berbagai cara dan sarana untuk menghancurkan dakwah politik yang ada.
Menghadapi konsekuensi ini, para aktivis dakwah politik hendaknya tetap
berpegang teguh dengan ideologi mereka, yaitu Islam, dan bersabar menghadapi
segala tantangan dan cobaan yang ada. Mereka hendaknya juga tidak tergiur
dengan segala rayuan (targhib), juga tidak gentar dengan
segala ancaman (tarhib). Sikap seperti inilah yang
ditunjukkan Rasulullah saw. dulu ketika menghadapi tantangan dakwah dari kaum
Quraisy yang kafir.
Kedua: dakwah politik akan menghadapi
serangan pemikiran asing yang disebarkan oleh berbagai institusi dari negara
sekular yang ada seperti media massa, sekolah, dan perguruan tinggi. Contohnya
saat ini ada program deradikalisasi yang sangat jahat yang landasan pemikirannya
bukan Islam, melainkan ideologi kapitalisme-sekular yang kufur. Tujuan program
deradikalisasi bukan hanya menyerang umat secara fisik, tetapi justru hendak
menghancur-kan norma-norma ajaran Islam itu sendiri, seperti wajibnya Khilafah,
syariah, dan jihad fi sabilillah.
Untuk menghadapinya, para aktivis dakwah politik hendaknya
melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri), dengan cara menjelaskan kekeliruan ide kufur yang ada, seraya
membandingkannya dengan ide Islam yang lurus, seperti meletakkan sesutu yang
bengkok bersebelahan dengan sesuatu yang lurus. Dengan demikian umat akan dapat
melihat perbedaan di antara keduanya seperti melihat sesuatu yang putih
bersebelahan degan sesuatu yang hitam, sehingga umat akhirnya akan mendukung
ideologi Islam dan menolak ideologi kapitalisme-sekular yang kufur.
Ketiga: dakwah politik dapat
menimbulkan resiko terhadap kepentingan pribadi para aktivisnya. Mereka yang
bergerak dalam dakwah politik dapat saja kehilangan pekerjaaannya, atau
mengalami kerugian dalam bisnisnya karena mendapat hambatan dari berbagai
pihak. Untuk menghadapinya, maka para aktivis dakwah politik harus memperkokoh
akidahnya, misalnya memperkokoh pemahaman mereka tentang rezeki, ajal dan
tawakal.
Keempat: ada kemungkinan pelaku dakwah
politik terpengaruh oleh fakta buruk yang tengah menimpa umat. Misalnya,
terlibat dalam aktivitas bisnis yang mengandung bunga bank (riba); atau
terlibat dalam pergaulan bebas, pacaran, dan sebagainya. Para aktivis dakwah
politik yang terjerumus dalam keburukan ini sedapat mungkin diselamatkan dan
diajak kembali ke jalan yang benar. Jika tidak memungkinkan, merekalah yang
harus diamputasi dari kelompok dakwah politik, agar keberadaan mereka tidak
justru merusak dakwah politik dari dalam (M. Husain Abdullah, At-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah
Al-Islamiyah, hlm. 86-92).
Keutamaan Dakwah Politik
Meski dakwah politik itu berat dan sungguh tidak mudah, di balik
itu dakwah politik mempunyai keutamaan yang justru tidak sedikit. Mereka yang
melaksanakannya insya Allah akan mendapat pahala yang agung (tsawab[un] ‘azhim) karena dianggap melakukan
jihad yang paling utama (afdhal al-jihad). Kalaupun sampai mati dalam menjalankan dakwah politik, itu
bukan mati konyol atau mati sia-sia, melainkan mati syahid yang sangat mulia di
sisi Allah SWT. Insya Allah. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ اْلجِهَادِ
كَلِمَة حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya termasuk
sebesar-besarnya jihad adalah mengucapkan kalimat yang haq di sisi penguasa
yang zalim.”
Rasulullah pun bersabda:
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَة
وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَه
Pemimpin para syuhada
(pada Hari Kiamat nanti) adalah Hamzah ra. dan seseorang yang berdiri di
hadapan imam yang zalim, lalu dia perintahkan imam itu berbuat baik dan dia
larang dari yang munkar, lalu imam itu membunuh dirinya
WalLahu a’lam.
Sumber
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/09/menteri-agama-hti-gerakan-politik-bukan-dakwah-keagamaan
http://perisainusantara.com/hti-itu-gerakan-politik-bukan-dakwah/
Komentar
Posting Komentar