Memaknai Berperan Positif bagi Pembangunan
Hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama (PTA)
Bandung, Halim Husein tidak setuju dengan rencana pemerintah membubarkan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Dia menilai sepak terjang HTI selama ini sejalan dengan
program-program pemerintah.
"Pemahaman saya seperti ini, saya kan orang Islam, sedangkan HTI memperjuangkan Islam. Di dalam Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa, Itu sejalan kok dengan pemerintah," ucap Halim kepada detikcom saat ditemui di PTA Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jabar, Senin (15/5/2017).
Halim menyebut, kegiatan-kegiatan yang dilakukan HTI selama ini positif. HTI, sambung dia, banyak membina masyarakat ke arah yang lebih baik.
"HTI ini mendukung program-program pemerintah. Contohnya, pemerintah menggencarkan pembinaan akhlak bangsa sehingga korupsi tidak merajalela, HTI itu membina di situ," papar Halim.
"Pemahaman saya seperti ini, saya kan orang Islam, sedangkan HTI memperjuangkan Islam. Di dalam Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa, Itu sejalan kok dengan pemerintah," ucap Halim kepada detikcom saat ditemui di PTA Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jabar, Senin (15/5/2017).
Halim menyebut, kegiatan-kegiatan yang dilakukan HTI selama ini positif. HTI, sambung dia, banyak membina masyarakat ke arah yang lebih baik.
"HTI ini mendukung program-program pemerintah. Contohnya, pemerintah menggencarkan pembinaan akhlak bangsa sehingga korupsi tidak merajalela, HTI itu membina di situ," papar Halim.
Sehingga ia menilai pemerintah salah persepsi
menilai HTI hingga muncul rencana pembubaran tersebut.
"Cuma penjabaran dakwah-dakwah itu mungkin enggak nyambung sehingga seolah-olah dikatakan HTI melawan pemerintah. Mungkin berbeda penafsiran saja. Oleh karena itu, saya tidak setuju dibubarkan," cetus Halim.
"Cuma penjabaran dakwah-dakwah itu mungkin enggak nyambung sehingga seolah-olah dikatakan HTI melawan pemerintah. Mungkin berbeda penafsiran saja. Oleh karena itu, saya tidak setuju dibubarkan," cetus Halim.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) membantah
tudingan yang menyatakan sebagai ormas yang tidak melaksanakan peran positif
untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan.
"Melalui kegiatan dakwah HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia," kata juru bicara HTI, Muhammad I Yusanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Selain itu, HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang dinilai akan merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal juga UU Sisdiknas dan lainnya.
"Kita tahu bahwa kita punya masalah besar di dunia pendidikan mulai dari tawuran, narkoba, pergaulan bebas, kriminalitas di kalangan remaja. Ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang ada ternyata belum sepenuhnya mampu secara tuntas. Di sinilah dunia pendidikan itu memerlukan uluran tangan dari masyarakat disini HTI berkontribusi melalui dakwah," katanya.
HTI juga turut melakukan sosialisasi antinarkoba, menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI juga terlibat dalam usaha membantu korban bencana alam di berbagai tempat seperti tsunami Aceh, gempa Yogyakarta pada 2006 dan lainnya.
"Karena itu tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif tidaklah benar," tambah Ismail.
Karena itu HTI meminta pemerintah menghentikan rencana pembubaran organisasi tersebut yang disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, dalam konferensi pers pada Senin (8/5).
Dalam pernyataan pers Wiranto, kemarin, HTI antara lain dinyatakan sebagai ormas yang tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional dan aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
"Kegiatan yang dilaksanakan HTI juga terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17/2013 tentang Ormas.
"Melalui kegiatan dakwah HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia," kata juru bicara HTI, Muhammad I Yusanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Selain itu, HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang dinilai akan merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal juga UU Sisdiknas dan lainnya.
"Kita tahu bahwa kita punya masalah besar di dunia pendidikan mulai dari tawuran, narkoba, pergaulan bebas, kriminalitas di kalangan remaja. Ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang ada ternyata belum sepenuhnya mampu secara tuntas. Di sinilah dunia pendidikan itu memerlukan uluran tangan dari masyarakat disini HTI berkontribusi melalui dakwah," katanya.
HTI juga turut melakukan sosialisasi antinarkoba, menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI juga terlibat dalam usaha membantu korban bencana alam di berbagai tempat seperti tsunami Aceh, gempa Yogyakarta pada 2006 dan lainnya.
"Karena itu tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif tidaklah benar," tambah Ismail.
Karena itu HTI meminta pemerintah menghentikan rencana pembubaran organisasi tersebut yang disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, dalam konferensi pers pada Senin (8/5).
Dalam pernyataan pers Wiranto, kemarin, HTI antara lain dinyatakan sebagai ormas yang tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional dan aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
"Kegiatan yang dilaksanakan HTI juga terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17/2013 tentang Ormas.
Kontribusi
dan peran positif bisa dalam beragam bentuk,
tidak selalu bermakna pembangunan fisik
HTI
peduli persoalan umat
mengajukan/menawarkan solusi kontruktif bagi pemenuhan hajat publik
HTI
kritis terhadap UU dan kebijakan yang
liberal, bertentangan Islam
HTI
dan penanaman syariah adalah upaya memperbaiki kerusakan kualitas SDM, dan
mengajukan solusi beragam persoalan bangsa
Khilafah
adalah ajaran Islam, tak patut berpandangan negatif apalagi curiga terhadap
ajaran islam, ajaran yang dijelaskan oleh rasulullah
Khilafah Ajaran Islam, Mengapa Dikriminalkan?
Sebagaimana diberitakan
oleh banyak media online, Pemerintah melalui pernyataan Menko Polhukam Wiranto
(8/5) secara resmi akan menempuh langkah-langkah hukum untuk membubarkan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Sudah diduga, pernyataan Pemerintah ini menimbulkan
reaksi keras dari masyarakat, termasuk para tokohnya. Hal ini terlihat dari
berbagai survey terkait wacana pembubaran HTI. Mayoritas menolak. Para tokoh
seperti Yusril Ihza Mahendra, Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah, dsb, rata-rata
berkomentar bahwa jika pun ormas-ormas yang dicap anti Pancasila harus
dibubarkan, pembubaran itu harus melalui pengadilan. Bahkan Sri Bintang
Pamungkas tegas menolak sama sekali pembubaran HTI.
Apa sesungguhnya dalih
Pemerintah yang berniat membubarkan HTI? Dari berbagai pernyataan beberapa pejabat
Pemerintah sebelumnya, seperti Kapolri dan Menko Polhukam, tampak bahwa salah
satu dalihnya adalah karena HTI gencar menyuarakan gagasan tentang Khilafah.
Menurut mereka, Khilafah bertentangan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
NKRI dan UUD 1945. Dalih atau alasan—yang lebih layak disebut dengan tuduhan
atau tudingan—tersebut tentu ngawur. Pasalnya, Khilafah adalah salah satu
ajaran Islam. Menolak Khilafah sama saja dengan menolak Islam sebagai agama
yang diakui keberadaannya di negeri ini.
Apa Itu Khilafah?
Terkait Khilafah,
Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah Kubra dan
Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang
sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Kata khilâfah banyak
dinyatakan dalam hadis, misalnya:
«إنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ
يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً»
Sesungguhnya (urusan)
agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada Khilafah dan
rahmat (HR al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam
hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan
kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُم الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Dulu Bani Israel
dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka
digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang
nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Pernyataan Rasul saw.,
“Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi,” mengisyaratkan bahwa tugas
dan jabatan kenabian tidak akan ada yang menggantikan beliau. Khalifah hanya
menggantikan beliau dalam tugas dan jabatan politik, yaitu memimpin dan
mengurusi umat.
Dari kedua hadis di
atas dapat kita pahami bahwa bentuk pemerintahan yang diwariskan Nabi saw.
adalah Khilafah. Karena itulah menurut Imam al-Mawardi, “Imamah (Khilafah) itu
ditetapkan sebagai khilafah (penggganti) kenabian dalam pemeliharaan agama dan
pengaturan dunia dengan agama.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm.
5),
Hal senada dinyatakan
oleh Ibnu Khaldun, “Khilafah pada hakikatnya adalah pengganti dari Shâhib
asy-Syâr’i (Rasulullah saw.) dalam pemeliharaan agama dan pengaturan urusan
dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 190).
Dalil Kewajiban
Menegakkan Khilafah
Pertama: Dalil
al-Quran. Syaikh Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaji dalam kitabnya, Al-Imamah
al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah (hlm 49-64) mengemukan
beberapa ayat al-Quran sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah di
antaranya adalah QS an-Nisa` [4]: 59, QS al-Maidah [5]: 48-49, QS al-Hadid
[57]: 25 serta ayat-ayat hudûd qishâsh, zakat dan lain-lain yang pelaksanaannya
dibebankan kepada Khalifah.
Kedua: Dalil
as-Sunnah. Rasulullah saw. antara lain bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati
dalam keadaan tidak ada baiat (kepada Khalifah) di atas pundaknya, maka matinya
mati Jahiliah (HR Muslim).
Hadis ini mengandung
perintah untuk mewujudkan Khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim. Pasalnya,
hanya dengan adanya Khalifah akan terdapat baiat di atas pundak kaum Muslim.
Adanya sifat jahiliah menunjukkan bahwa tuntutan perintah itu sifatnya tegas
sehingga hukumnya wajib.
Ketiga: Dalil Ijmak
Sahabat. Menurut Imam ath-Thabari dalam Târîkh al-Umam wa al-Mulûk,
generasi awal Islam yang hidup pada kurun terbaik telah memberikan perhatian
yang sangat besar terhadap urusan Kekhilafahan. Para Sahabat besar seperti Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali r.a. dan para Sahabat besar lainnya bergegas
mengangkat seorang khalifah tatkala khalifah sebelumnya mangkat atau karena ada
sebab-sebab syar‘î lainnya. Ini menunjukkan bahwa menegakkan Khilafah adalah
wajib.
Andai keharusan adanya
Khilafah itu tidak wajib, tentu tidak akan terjadi diskusi dan perdebatan
tentang Imamah (Khilafah) di kalangan para Sahabat (Muhajirin dan Anshar)
sesaat setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka menunda untuk sementara kewajiban
mengurus jenazah Baginda Rasulullah saw. dan malah mendahulukan pemilihan,
pengangkatan dan pembaiatan Khalifah. Tindakan para Sahabat—ridwanullâh
‘alayhim—ini menunjukkan bahwa mereka memandang Khilafah adalah wajib sebagaimana
pengurusan jenazah Rasulullah saw. Sebabnya, kalau sekadar sunnah atau mubah
saja, tentu mereka tidak akan sampai menunda untuk sementara pengurusan jenazah
Rasulullah saw. yang statusnya adalah wajib. Dengan demikian menjadi ketetapan
bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib berdasarkan syariah, bukan akal (Lihat:
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Karena itulah Imam
al-Haitami menyatakan. “Ketahuilah, para Sahabat ra. telah berijmak
(bersepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman
nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan Imamah (Khilafah)
sebagai kewajiban terpenting tatkala mereka menyibukkan diri dengan kewajiban
tersebut dengan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami,
Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).
Ijma Ulama Aswaja
Tentang Khilafah
Dengan adanya
dalil-dalil di atas, wajar jika kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi
ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi, “Tidak ada perbedaan pendapat
mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para
imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham—yang tuli
(‘asham) terhadap syariah—dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta
mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,
1/264).
Imam an-Nawawi juga
menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum
Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, 12/ 205. Lihat
juga: Asy-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtâj, XVI/287; Abu Yahya Zakaria
al-Anshri, Fath al-Wahâb, II/268; Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad
Al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ala al-Khatib, XII/ 393).
Pendapat tetang
kewajiban menegakkan Khilafah ini juga diketengahkan oleh para ulama besar lain
semisal Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan
Ashhab as-Sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya‘la al-Firai, al-Baghawi,
Zamakhsyari, Ibnu Katsir, Imam al-Baidhawi, Imam an-Nawawi, ath-Thabari,
al-Qurthubi, Ibnu Khaldun, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain (Lihat: Ibnu
Manzhur, Lisân al-‘Arab, hlm. 26; al-Qalqasyandi, Mâtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim
al-Khilâfah, I/16; Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/209; Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/70; Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl,
hlm. 602; Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, III/277; Ibnu Khaldun,
Muqaddimah Ibnu Khaldûn, II/519; Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Isti‘âb fî Ma‘rifah
al-Ashhâb, III/1150 dan Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 137-138, dan lain-lain).
Pendapat para ulama
tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya:
Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin
ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa
Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani,
Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm
al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).
Hampir tidak ada seorang
pun ulama yang mukhlish—sejak generasi awal Islam hingga generasi
muta’akhirîn—yang mengingkari kewajiban untuk menegakkan Khilafah ini.
Khilafah Ajaran Islam
Alhasil, Khilafah
adalah ajaran Islam. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Di Indonesia,
Sulaiman Rasyid, dalam kitabnya yang sangat terkenal, Fiqih Islam, juga
mencantumkan bab tentang Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi
salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Karena itu
Khilafah sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang asing bagi umat Islam. Jadi,
mengapa ajaran yang mulia ini saat ini tiba-tiba dikriminalkan? Mengapa pula
para pengusung gagasan Khilafah dianggap berbahaya dan memecah-belah?
Jika memang Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, mengapa mendakwahkan
gagasan Khilafah yang merupakan ajaran Islam dipersoalkan? Tidakkah ini
menunjukkan bahwa rezim ini anti Islam sekaligus yang justru anti Pancasila?!
Sumber
https://news.detik.com/berita/d-3501323/hakim-pengadilan-tinggi-agama-bandung-tak-setuju-hti-dibubarkan
http://hizbut-tahrir.or.id/2017/05/12/khilafah-ajaran-islam-mengapa-dikriminalkan/
Komentar
Posting Komentar